A. Pendahuluan
A. Pendahuluan
Negara adalah sebutan
bagi sebuah wilayah yang didiami oleh segolongan manusia yang berlaku sebagai
masyarakat wilayah tersebut, yang mana tunduk pada pemerintahannya sebagai
ikatan politis antara mereka. Bila dikaitkan dengan Islam sebagai pasangan
kata-kata negara, maka ketiga unsur pokok suatu negara yaitu; Teritorial
wilayah, rakyat, dan ikatan politis belum cukup, nilai ke-Islaman juga perlu
dimasukkan sebagai dimensi moral yang juga menjadi naungan unsur-unsur pokok
negara tersebut. Inilah yang membedakannya dibandingkan negara-negara ‘biasa’
lainnya. Lalu, bagaimana kedudukan Islam dalam memobilisasi sebuah negara?
Karena dimensi moral berbeda dimensi dengan dimensi fisik.
Mendirikan suatu negara
Islam adalah suatu cita-cita bagi setiap muslim , namun bergantung sepenuhnya
pada masyarakat-nya sendiri . Negara Islam belum bisa terbentuk selama
rakyatnya yang muslim belum sepenuhnya berpegang pada Al-Qur'an dan As-Sunnah ,
sebagai dasar dari ke-iman-an dan ke-Islam-an. Beberapa pemikir islam, ajaran
Islam tidak menyetujui penyekatan antara agama dan politik. islam ingin
meaksanakan politik selaras dengan tuntunan yang teah diberikan agama dan
menggunakan negara sebagai sarana melayani Allah. Islam menggunakan kekuatan
poitik yang mereformasi masyarakat dan tidak membiarkan masyarakat melorot ke
dalam “tempat terakhir yang paling buruk”. Ha ini menunjukkan bahwa reformasi
yang dikehendaki Islam tidak dapat dilaksanakan melaui khutbah-khutbah saja.
Kekuatan politik juga penting untuk mencapainya. Inilah cara pendekatan Islam,
dan konskuensi logis dari cara ini adalah bahwa negara harus dibentuk
berdasarkan pola-pola Islam. Inilah ketentuan keimanan Islam dan
tidak dapat diabaikan begitu saja.
B. Konsep Negara Islam di Zaman Rasulullah
Konsep negara-bangsa,
yang padanannya dalam bahasa arab daulah, merupakan perkembangan
yang relatif baru di Eropa, demikian juga konsep kedaulatan (siyadah). Sistem
negara-negara secara umum dikaitkan dengan Piagam Wesphalia pada 1648, sedang
konsep kedaulatan pertama-tama diungkapkan secara sistematis oleh Jean Bodin
(1530-96 M) pada 1576 M. Karena itu, wajar jika konsep negara tidak digunakan
dalam al-Qur’an, juga tidak digemari pada masa Nabi saw. Pada fuqaha’ awal
menggunakan istilah khilafah atau imamah untuk
menunjukan gagasan tatanan politik. Istilah daulah beredar
diawal abad ke-7 H, dan digunakan dalam hubungannya dengan dinasti-dinasti
muslim yang memberi kesetiaan nominal pada khalifah yang tidak berkuasa.
Setalah delapan abad berlalu, gagasan negara islam beredar sebagai ‘alternatif
bagi khalifah’. Perubahan ini diperoleh dari beberapa faktor, termasuk
penghapusan khalifah pada 1924. Namun istilah ‘negara islam’ adalah istilah
yang tidak cocok dan lebih baik diganti dengan ‘pemerintahan islam’ atau
Tatanan Politik Islam’.
Meskipun istilah
‘negara’ atau ‘pemerintahan’ tidak disebutkan dalam al-Qur’an, unsur-unsur
esensial yang membentuk tatanan politik disebutkan dalam al-Qur’an yang dengan
jelas menunjukan bahwa konsep tersebut, kalau bukan istilah yang dimaksud dalam
al-Qur’an. Misalnya al-Qur’an menyebut prinsip atau fungsi yang
mengimplikasikan keberadaan tatanan sosio-politik, atau dalam beberapa hal,
penggunaan otoritas yang terorganisir demi terealisasinya prinsip-prinsip atau
fungsi-fungsi tersebut. Prinsip-prinsip tersebut meliputi ‘ahd (kontrak),
amanat, itha’ah(ketaatan)dan hukm (keputusan hukum). Juga
ada hukum-hukum atau arahan-arahan umum, hal-hal berkaitan dengan pelaksanaan
perang dan perdamaian. Masalah-masalah hukum atau arahan-arahan ini’benar-benar
memberi keseimbangan kepada masyarakat muslim’ sehingga dapat dibedakan dengan
masyarakat lainnya berdasarkan karakteristik khusus yang dimiliki masyarakat
politik yang mandiri. Lebih penting lagi, ada kewajiban-kewajiban keagamaan
tertentu seperti pengumpulan zakat, hukum kriminal, organisasi jihad dan
sebagainya, yang tidak dapat dijalankan secara efektif tanpa intervensi formal
otoritas politik.
Negara Islam pertama
Perbincangan tentang apakah "Negara
Madinah" itu benar-benar suatu negara atau sekadar institusi
kemasyarakatan biasa, lebih berlandaskan pada ketida-jelasan fakta-fakta
mengenai apa yang terjadi di Madinah dan di seluruh wilayah kekuasaan Islam
pada saat itu.
Ada beberapa definisi tentang negara.
Menurut Roger Soltau, negara adalah alat (agency) atau kekuasaan (authority)
yang mengatur atau mengendalikan persolan-persoalan bersama atas nama
masyarakat. Menurut Harold J. Laski, negara adalah suatu masyarakat yang
diintegrasikan kerana mempunyai kekuasaan yang bersifat memaksa dan yang secara
sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bahagian dari
masyarakat itu. Definisi menurut Max Weber dan Robert MacIver hampir senada
dengan Harold Laski.
Negara jauh lebih kompleks dibandingkan
dengan masyarakat. Harold J. Laski mendefinisikan masyarakat sebagai
"sekelompok manusia yang hidup bersama dan bekerjasama untuk mencapai
tercapainya keinginan-keinginan bersama". Berdasarkan definisi tersebut,
negara adalah metamorfosis lanjutan dari suatu bentuk masyarakat yang
memerlukan instrumen undang-undang yang bersifat memaksa sehingga
keinginan-keinginan tersebut tidak saling memukul antara satu sama lain. Dalam
konsep Kontrak Sosial (Contract du Social), penguasa
"dikontrak" oleh rakyat untuk menjaga dan mengatur
kepentingan-kepentingan mereka.
Dalam kitab al-Fikr al-Islami,
Dr. Muhammad Ismail mengajukan 3 (tiga) kriteria yang harus dipenuhi agar suatu
masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat yang utuh, iaitu adanya pemikiran
yang sama (afkar), perasaan yang sama (masya’ir), dan
undang-undang yang diterapkan di tengah masyarakat tersebut (nizham).
Jika salah satu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka masyarakat tersebut
tidak layak disebut sebagai masyarakat walaupun jumlahnya ratusan ribu; seperti
penonton bolasepak di stadium yang memiliki keinginan yang sama (ingin menonton
bola) tetapi tidak diikat oleh peraturan yang sama sehingga masing-masing dapat
berbuat sekehendak hatinya.
Berikut ini adalah beberapa fakta yang
membuktikan bahwa yang dibentuk oleh Rasulullah saw di Madinah adalah sebuah
negara:
1. Rasulullah saw menerima bai’ah sebagai
Ketua Negara, bukan sebagai Nabi.
Pengakuan seorang Islam kepada kenabian
Muhammad saw adalah dengan ucapan dua kalimah syahadah, bukan dengan bai’ah.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra yang berkata:
"Kami dahulu, ketika membai’ah
Rasulullah saw untuk mendengar dan menaati perintah beliau, beliau selalu
mengatakan kepada kami: Fi Mastatha’ta’ (sesuai dengan kemampuanmu)"
Bai’ah ini adalah pernyataan ketaatan
kepada seorang Ketua Negara, bukan sebagai seorang Islam kepada Nabinya.
Buktinya adalah penolakan Rasulullah saw terhadap bai’ah seorang anak kecil
yang belum baligh, iaitu Abdullah bin Hisyam. Imam Bukhari meriwayatkan dari
Abu Uqail Zahrah bin Ma’bad bahwa saudaranya, Abdullah bin Hisyam, pernah dibawa
pergi oleh ibunya, iaitu Zainab binti Humaid, menghadap Rasulullah saw. Ibunya
berkata: "Wahai Rasulullah, terimalah bai’ahnya." Kemudian Nabi saw
menjawab: "Dia masih kecil." Beliau kemudian mengusap-usap kepala
anak kecil itu dan mendoakannya.
Jika bai’ah itu berfungsi sebagai
pengakuan atas kenabian Muhammad saw, beliau tidak mungkin menolaknya walaupun
datang dari seorang anak kecil yang belum baligh kerana syariat Islam
menggariskan bahwa seorang anak telah terkena kewajipan agama iaitu membayar zakat
yang ditanggung oleh orang tuanya.
Dengan demikian jelaslah bahwa Rasulullah
saw memegang jabatan Ketua Negara selain kedudukannya sebagai Nabi.
2. Rasulullah saw sebagai Ketua Negara
mengirim surat kepada penguasa negara-negara besar untuk tunduk di bawah
kekuasaan Islam.
Tidak mungkin suatu masyarakat biasa
memiliki strategi politik untuk meluaskan pengaruhnya ke wilayah-wilayah
sekitar, yang hanya dapat dilakukan oleh suatu negara yang memiliki kepentingan
luaran yang dirumuskan dalam strategi politik luar negerinya.
Isi surat Rasulullah saw tersebut adalah:
"Bismillahi ar-Rahman ar-Rahim. Dari
Muhammad bin Abdullah dan Rasul Allah, kepada Heraklius pemimpin Romawi.
Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada siapapun yang mengikuti petunjuk.
Masuklah Islam, niscaya Anda akan selamat. Masuklah Islam, niscaya Allah akan
melimpahkan pahala kepada Anda dua kali ganda. Namun jika Anda berpaling maka
Anda akan menanggung dosa rakyat Irisiyin." (HR Bukhari dalam Shahih
Bukhari, juga al-Bidayah IV/226)
Surat senada juga disampaikan kepada Kisra
(Raja Persia), Muqauqis (Raja Mesir), Najasyi (Raja Ethiopia), al-Harith
al-Ghassani (Raja Hirah), dan al-Harith al-Himyari (Raja Yaman). Seruan ini
bukan sekadar seruan moral untuk memeluk Islam, tetapi juga seruan politik
untuk menggabungkan wilayahnya di bawah kekuasan Islam walaupun dengan jalan
perang. Rasulullah saw pernah mengirim surat kepada Uskup Najran yang isinya:
"Atas nama Tuhan Ibrahim, Ishaq, dan
Yakub, dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, kepada Uskup Najran. Kesejahteraan
semoga dilimpahkan kepada kalian. Aku mengajak kalian untuk memuji Tuhan
Ibrahim, Ishaq, dan Yakub. Amma ba’d.
Aku mengajak kalian untuk menyembah Allah
dan meninggalkan penyembahan kepada hamba. Aku mengajak kalian kepada kekuasan
Allah dan meninggalkan kekuasaan hamba. Jika kalian menolak ajakanku ini, maka
hendaklah kalian menyerahkan jizyah. Jika kalian menolak untuk menyerahkan
jizyah, berarti kalian telah memperkenankan peperangan. Wassalam." (Tafsir
Ibnu Katsir I/139, al-Bidayah V/55)
Jizyah adalah hak yang diberikan Allah swt
kepada kaum muslimin dari orang-orang bukan-Islam kerana adanya ketundukan
mereka kepada pemerintahan Islam .
3. Adanya undang-undang yang bersifat
mengikat dan memaksa.
Syariat Islam adalah undang-undang, bukan
sekadar norma. Tindakan jenayah (jarimah) mendapat hukuman yang dijatuhkan oleh
negara walaupun dimensi transendental dalam Islam mengaitkan penjatuhan hukuman
tersebut dengan alam akhirat.
Masyarakat umum sering membayangkan
masyarakat Madinah seperti masyarakat feudal dan kasta yang dalam proses
menjatuhkan hukuman sosial kepada anggota masyarakat yang melakukan kejahatan
ditentukan melalui musyawarah. Yang sering dijadikan dalil adalah ayat
al-Qur’an surat an-Nisaa: 159 dan asy-Syura: 38 yang memerintahkan Nabi untuk
bermusyawarah mengenai suatu urusan.
Pengambilan dalil secara sepotong demi
sepotong memang mengasyikkan kerana hukum agama dapat dibelok-belokkan sesuai
keinginan kita. Tetapi harus diingat bahwa satu ayat tidak dapat terlepas dari
ayat lain mahupun teks-teks al-Hadis. Ini berkaitan dengan nasakh-mansukh,
takhsis, tabdil, taqyid, dan lain-lain (dapat kita diskusikan lebih lanjut
dengan topik "Kodifikasi Undang-undang Islam").
Rasulullah saw bermusyawarah dengan para
Sahabat mahupun dengan penduduk Madinah hanya untuk masalah-masalah yang
bersifat mubah/boleh dan tidak menyangkut dengan wahyu. Misalnya ketika Perang
Uhud, beliau mengikuti pendapat majoriti penduduk Madinah yang memilih
menyambut musuh di luar kota padahal Rasulullah dan sahabat-sahabat besar
memilih menyambut dari dalam benteng.
Untuk hal-hal yang menyangkut wahyu dan
ketetapan undang-undang, Rasulullah saw tidak meminta pendapat siapapun selain
mengikuti wahyu yang diturunkan kepada beliau.
"Aku tidak mengikuti kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku" (QS Yunus: 15)
"(Dan) tidaklah ia mengucapkan
sesuatu berasal dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain adalah wahyu yang
diwahyukan" (QS an-Najm: 3-4)
Dalam Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah
saw mengabaikan pendapat para Sahabat yang mengajukan protes terhadap kesediaan
beliau menerima konsep perjanjian yang ditentukan oleh kaum Quraisy Mekah. Umar
bin al-Khatthab menunjukkan rasa kecewanya atas sikap Nabi tersebut, tetapi
Rasulullah tidak berganjak sedikitpun kerana sikap politik itu diambil atas
perintah Allah swt.
Dalam kapasitinya sebagai Ketua Negara,
Rasulullah saw tidak melakukan perundingan atau tawar-menawar dalam penjatuhan
hukuman kepada para pelaku tindakan jenayah. Beliau pernah menjatuhkan hukuman
mati kepada Ma’iz al-Aslami dan al-Ghamidiyah yang terbukti melakukan zina.
Beliau pernah pula mengusir kaum Yahudi bani Qainuqa’ dari Madinah kerana
dengan sengaja menghina kehormatan seorang muslimah dengan menarik jilbabnya
hingga terlucut. Semua hukuman tersebut diambil tanpa bermusyawarah atau
tawar-menawar dengan siapapun.
Sebagaimana yang didefinisikan oleh Harold
Laski bahwa negara mempunyai kekuatan memaksa, jelaslah bahwa Rasulullah saw
menjalankan fungsi sebagai Ketua Negara.
Struktur Negara Islam pertama
Layaknya suatu negara, negara Islam yang
dibentuk oleh Rasulullah saw memiliki struktur yang khas dan sistematik. Beliau
mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai wakil Ketua Negara. Al-Hakim dan Tirmidzi
telah mengeluarkan Hadis dari Abi Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Dua pembantuku dari langit adalah
Jibril dan Mikail, sedangkan dari bumi adalah Abu Bakar dan Umar"
Pada masa itu wilayah kekuasaan Islam
mencakup seluruh Jazirah Arab. Untuk menjalankan roda pemerintahan di
daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan (Madinah), Rasulullah melantik
para gabenor untuk memimpin wilayah. Wilayah terbahagi atas
beberapa imalah yang dipimpin oleh amil atauhakim.
Rasulullah melantik Utab bin Usaid sebagai
gabenor Mekah, Badhan bin Sasan sebagai gabenor Yaman, Muadz bin Jabal
al-Khazraji sebagai gabenor al-Janad, Khalid bin Said bin al-Ash sebagai amil
San’a, Zaid bin Lubaid bin Tha’labah al-Anshari sebagai gabenor Hadramaut, Abu
Musa al-Ashari sebagai gabenor Zabid dan Aden, Amr bin al-Ash sebagai gabenor
Oman, dan di dalam kota dilantik Abu Dujanah sebagai gabenor Madinah.
Dalam urusan pengadilan (al-Qadla),
Rasulullah saw mengangkat beberapa qadli(hakim). Misalnya Ali bin
Abi Thalib sebagai hakim di Yaman, dimana Rasulullah pernah menasihatinya:
"Apabila dua orang yang berselisih
datang menghadap kepadamu, jangan segera kau putuskan salah satu di antara
mereka sebelum engkau mendengar pengaduan dari pihak yang lain. Maka engkau
akan tahu bagaimana engkau harus memberi keputusan" (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Beliau juga mengangkat Muadz bin Jabal
sebagai hakim di al-Janad, dan Rashid bin Abdullah sebagai qadli
madzalim yang mengadili salahlaku penguasa terhadap rakyat.
Dalam urusan pentadbiran negara (al-jihaz
al-idari mashalih al-daulah), Rasulullah melantik Ali bin Abi Thalib
sebagai penulis perjanjian, Harits bin Auf sebagai pemegang mohor negara,
Huzaifah bin al-Yaman sebagai pencatat hasil pertanian daerah Hijaz, Zubair bin
al-Awwam sebagai pencatat sedekah, Mughirah bin Shu’bah sebagai pencatat kewangan
dan transaksi negara, dan Syarkabil bin Hasanah sebagai penulis surat
diplomatik ke berbagai negara.
Untuk memusyawarahkan hal-hal tertentu,
Rasulullah membentuk Majlis Syura yang terdiri dari tujuh orang Muhajirin dan
tujuh orang Anshar, di antaranya adalah Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, Umar, Ali,
Ibnu Mas’ud, Salman, Ammar, Huzaifah, Abu Dzarr, dan Bilal.
Untuk posisi panglima perang dipegang
sendiri oleh Rasulullah, namun untuk perang-perang sarriyah (tidak
diikuti Nabi), beliau melantik orang-orang tertentu sebagai panglima perang,
misalnya Hamzah bin Abdul Muththalib, Muhammad bin Ubaidah bin al-Harits, dan
Saad bin Abi Waqqash menghadapi tentara Quraisy. Lalu Zaid bin Haritsah, Ja’far
bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah menghadapi tentara Romawi.
Bentuk negara Islam
Rasulullah saw bersabda:
"Dahulu bani Israil dipimpin dan
dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal,
digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku.
(Tetapi) nanti akan ada para Khulafaa dan jumlahnya akan banyak sekali". (HR Bukhari dan Muslim)5
Menurut pengertian bahasa Arab, khulafaa berarti
pengganti. Berdasarkan penegasan Rasulullah bahwa tidak ada nabi lagi sesudah
beliau, maka pengganti di sini berfungsi menggantikan kedudukan beliau sebagai
Ketua Negara. Hal ini diperkuat oleh keputusan Abu Bakar yang menyandang
gelaran Khalifatur-Rasulillah (pengganti Rasulullah sebagai Ketua Negara).
Mahmud Abdul Majid al-Khalidi menjelaskan
pengertian Khalifah sebagai berikut: "Khalifah adalah kepemimpinan umum
bagi kaum muslimin secara keseluruhan di dunia untuk mendirikan/melaksanakan
undang-undang Islam dan mengembangkan dakwah Islam ke seluruh pelusuk
dunia".6
Imam Mawardi mengatakan:
"Imamah (atau Khilafah) adalah suatu
kedudukan yang diadakan untuk mengganti peranan kenabian dalam urusan
memelihara agama (Islam) dan mengendalikan dunia".7
Dalam masalah yang sama, Ibnu Khaldun
menyatakan:
"Hakikat Khalifah adalah
Shahibus-Syari’ (iaitu seseorang yang bertugas memelihara dan melaksanakan
syariat) dalam memelihara urusan agama dan mengelola dunia".8
Tentang bentuk negara Khilafah ini,
Rasulullah saw telah menegaskannya dalam Hadis riwayat al-Bazzar:
"...kemudian akan muncul (kembali)
Khilafah yang mengikuti jejak kenabian..." 9
Berdasarkan penjelasan di atas, Islam
mengenal bentuk negara Khilafah Islamiyyah, baik secara normatif mahupun
praktikal sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah sejak masa Nabi
sampai runtuhnya Khilafah Islamiyyah yang berpusat di Turki pada tahun 1924.
C. PEMIMPIN (Pemilihan, Persyaratan dan
Tanggungjawabnya) di Dunia Maupun Diakhirat
1. Pemilihan
Cara penentuan pemimpin, imam atau kepala
Negara
Berikut ulasan mengenai cara menentukan
pemimpin, imam atau kepala Negara :
a. Pertama: jumhur ahlu sunnah
berpendapat bahwa tidak ada nash baik dalam al-quran maun as-sunnah yang
menentuka kepala negara, atau cara penentuannya. Kecuali, nash-nash umum yang
bertalian dengan kekuasaan dan pengangkatan seorang penguasa (daerah) .baik ia
adalah kekuasaan besar maupun kecil.
b. Kedua : jika memang di
al-quran dan As-sunnah tidak ada sesuatu penetapan cara penentuan (kepala
negara), kita kembali pada apllikasi keilmuan yang selesai di masa mayoritas
sahabat dan generasi pertama diantara mereka dalam memilih para khalifah .
supaya dapat menyimpulkan dari aplikasi yang dianggap sebagai ijma’ para
sahabat ini suatu prinsip yang dapat dijadikan pegangan.
c. Ketiga
1) Prinsip
pertama , pemilihan mayoritas ahlu halli wa’aqd dan kaum cerdik pandai
dimasyarakat terhadap orang yang mereka pandang cakap menduduki jabatan
kekhalifahan dan memerintah orang-orang mukmin. Dan pembai’atan mereka
kepadanya. Serta pencalonannya sebelum menjadi seorang khalifah yang
melaksanakan pemerintahan untuk mengurus wasiat (khalifah sebelumnya) akan
tetapi ia tidaklah terlaksana dengan wasiat ini, tapi dengan wasiat (pesan)
kaum muslimin sesudah meninggalnya khalifah yang mengamanatkannya kepada orang
sesudahnya.
2) Prinsip
kedua : bai;at mayoritas umat islam kepada khalifah yang dicalonkan. Mereka
rela kepadanya dan menerima kekhalifahannya dan persetujuan mayoritas mereka
atasnya.
Ahlu al-halli wa al-‘aqd
Sekelompok orang yang
memilih imam atau kepala negara sesekali dinamakan ahlul halli wal’aqdi sesekali
ahlul ijtihad dan sesekali ahlul ihtiar. Pendapat Al-Qadhi abu ya’la mengatakan
bahwa tidaklah diperkenankan bagi khalifah mengangkat orang-orang yang akan
memilih khalifah sesudahnya .jika khalifah memutuskan memilih dan menentukan ,
maka ia bertindak sesuka hati didalam memilih orang yang akan menggatikannya
secara tidak langsung.
Kesimpulan cara
penentuan ahlu halli wal’aqd adalah suatu perkara yang diserahkan kepada
kebijaksanaan setiap masa dan negeri.
a. Mayoritas
dan minoritas
Pokok dalam pendapat
Al-Qadhi Abu Ya’la adalah bahwa immamah “ tidaklah terlaksana kecuali bersama
mayoritas ahlul halli wal’aqd.
b. Bai’at
jumhur
Jumhur adalah batasan
ungkapannya , dan ahlu as-syaukah , yaitu orang yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang. Madzhab ahlu sunnah berpendapat bahwa immamah baru terlaksana menurut
mereka dengan kesepakatan ahlu syaukah, yang dengan adanya persetujuan itu
tercapailah maksud imamah , yaitu kekuasaan dan wewenang.
c. Wilayatul
‘ ahd
Dari ucapan dua ahli fiqih
hanbali yaitu Al-Qadhi Abu ya’la dan ibnu taimiyah Nampak bahwa
wilayatul ‘ahd (kekuasaan yang telah dijanjikan) sebelum menjadi khalifah yang
menjalankan kekuasaan adalah hak pencalonan saja. Bukan hak penetapan yang akan
datang (menggantikan) sesudahnya.
Pembentukan Pemerintah Islam Melalui Pemilihan
Al-Mubarakfuri
berkata ‘’sesuai bi’at tersebut, Rasulullah saw. Meminta pemilihan 12 pemimpin
yang akan menjadi naqib ‘pemimpin’ bagi kaumnya. Merekalah yang
bertanggung jawab atas pelaksanaan butir- butir bai’at
tersebut.Persoalan belum selesai karena Rasulullah saw. Tidak dapat
berkomunikasi dengan setiap orang yang berbai’atitu setiap saat. Juga
Rasulullah saw. Tidak bisa membai’at segenap individu umat islam. Oleh karena
itu, harus dipilih pemimpin yang bertanggung jawab secara langsung atas basis
ini
1. Konsep pemilihan
dalam sistem pemerintahan islam merupakan kosepsi yang sangat mendasar.
Anehnya, di tengah barisan gerakan islam ada orang yang mempertanyakan prinsip
ini.
2. Tanggung
jawab adalah sesuai dengan kadar kemampuan dan wewenang (shalahiah). Rasulullah
saw. telah menentukan tanggung jawab bagi 12 naqib tersebut, setelah
mengukuhkan mereka sebagai para pemimpin yang bertanggung jawab memikul
keselamatan kaum muslimin dari kaum mereka yang telah berbai’at di Aqabah dan
berdomisili di Yatsrib.
3. Tampak dengan
jelas keagungan Nabi saw. tatkala beliau tidak berlepas diri dari tanggung
jawab.
4. Beratnya
tanggung jawab ‘’pemerintah yang terpilih’’ ini tampak dengan jelas ketika kita
mengingat bahwa darah yang tertumpah di perang bu’ats antara Aus dan Khazraj
belum lagi mengering.
5. Sesungguhnya
proses merapikan barisan dalam menyatukan jiwa ke arah sasaran yang sama, dan
mengikat dengan pemimpin dalam suatu kepercayaan yang kuat, merupakan tugas
yang sangat sulit. Sebab jiwa yang beraneka ragam, hawa nafsu yang saling
bertentangan, dan berbagai bentuk pertikaian, kadang- kadang sangat dominan dan
seringkali menjadi ujian bagi pemimpin.
Seorang amir dalam suatu jama’ah punya peran penting dalam mengatur barisan
dan menyatukan hati yang saling bertikai.Ia juga bertnggung jawab atas
persatuan dan kekokohan barisan. Taufiq dan bimbingan Allah jualah yang akan
membantunya dalam mewujudkan persatuan ini. Manusia tidak akan mampumewujudkan
persatuan tanpa taufiq dari Allah swt.
Pemilihan berdasarkan syarat-syarat yang
ada :
a. Iman dan kebudayaan (wawasan)
Diantara tugas-tugas
terpenting negara islam pandangan islam adalah menegakkan keadilan sesuai
dengan hukum dan kaidah syariat .ketika muammalah dan hubungan antar manusia
berkembang terusdari hari kehari, maka perlulah dilakukan itjihad dalam hal ini
sesuai prinsip islam. Ini menuntut derajat yang tinggi daripada ilmu dan
kebudayaan.
Negara yang berdiri
tegak dimasa sekarang ini berdasarkan atas berbagai keyakinan dan aliran,
dipilih para pemimpinnya yang dari kalangan yang paling tahu terhadap aliran
yang dipegang teguh oleh negaranya, dan orang yang mendalami pemahamannya
terhadanya, dan yang paling mengerti terhadap tujuan-tujuannya , agar ia dapat
memimpin serta dapat mewujudkan tujuan-tujuannya.
Syarat ini mengandung dua unsur:
1) Mengenal
islam itu sendiri : akidahnya dimana pengarahan dan pendidikan dibangun diata
landasannya dalam Negara. Dan tentang tasyri’-nya yang merupakan rujukan
didalam hubungan-hubungan kepemilikan dan hukum keorganisasian.
2) Adalah
mengenal budaya umum pada masanya, yang akan membantunya mengaplikasikan
prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang memahami problematika yang bersifat zamani
atau kekinian, dan memecahkannya dalam bingkai prinsip-prinsip islam , baik
dari segi akidah maupun syari’atnya.
b. Kecakapan (politik dan administrasi)
Tidaklah cukup seorang
pemimpin , khalifah / kepala Negara adalah orang yang alim besar, bertakwa ,
salih. Disamping ilmunya dan kebagusan ahlaknya , ia mempunyai
kecakapan-kecakapan dalam memimpin musyawarah mengatur.
c. Akhlak yang mulia
Orang yangmengurus dan
melindungi urusan-urusabn anggota masyarakat baik hartanya, kehormatannya, dan
jiwanya , serta menanggung tanggung jawab membela mereka, haruslah ia memiliki
sifat amanah, kesucian hati, dan istiqomahdan ia berada dalam tingkatan paling
tinggi dalam sifat-sifat ini. Para fuqaha menambahkan ahlak ini sifat-sifat
kejiwaan yang wajib diperhatikan dalam batas tertentu pada diri orang yang
mengurus kekhilafahan atau memimpin suatu Negara. Adalah keberanian
dan nadjah (cepat member bantuan)
d. Islam
Keislaman menurut para
ahli fiqih merupakan syarat dalam memutuskan perkara diantara umat islam , ia
adalah syarat bagi orang dianggap mengurus kekuasaan umum. Ibnu hazm
menjelaskan dalam kitabnya al-fashal tentang syarat keislaman : “sesungguhnya
tujuan yang mendasar bagi orang yang menduduki jabatan pemimpin (kepala negara)
adalah melaksanakan syariat islam. Maka bagaimanamungkin syariat ini
dilaksanakan / bagaimana bisa dipelihara kepentingan islam dan pemeluknya ,
jika orang yang mengurus jabatan bukannya orang muslim.” (Al-nazhariyat
as-siyasiyyah oleh Dr. Ar-rayyes, hal.249).
e. Laki – laki
Wanita sebaiknya tidak memegang tampuk kepemimpinan.Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan beruntung kaum yang dipimpim
oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu Bakarah Radhiyallahu’anhu) .
f. Berbangsa (keturunan) Quraisy
Disyaratkannya penisbatan kepada bangsa (suku) quraisy pada diri si imam ,
sang kepala Negara . dengan alas an hadis yang berbunyi : “para pemimpin
berasal dari quraisy.” (Al-Aiimmah min Quraisyin).
2. Persyaratan
Islam merupakan agama
yang lengkap.Ia memiliki sikap yang jelas dan hukum yang tegas mengenai
berbagai.Persoalan termasuk
politik. Yang jelas , islam adalah akidah dan ibadah akhlak dan syariat yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. Karena demikian lengkapnya ajaran islam, maka
setiap umat islam dalam segala hal wajar saja mengaitkan dan meningkatkan diri
kepada ajaran islam.
Belakangan ini disetiap pertemuan, orang banyak membicarakan masalah
kepemimpinan .bagaimana seyogyanya kita menyikapi masalah kepemimpinan
nasional? Islam menempatkan masalah kepemimpinan sebagai masalah yang sangat
penting, dan kita sebagai umat islam hukumnya wajib ‘ain mengikuti petunjuk
islam dalam memilih seorang pemimpin. Menjadi pemimpin adalah amanah yang
harus dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh pemimpin tersebut, karena
kelak Allah akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu.
Ada beberapa
persyaratan / Kriteria menurut islam.
a. Pertama, ia harus orang yang
beriman, sebagaimana firman Allah : hai orang yang beriman janganlah kamu
mengambil orang kafir menjadai pemimpinanmu dengan meninggalkan orang mukmin
(QS An-Nisa: 144)
b. Kedua, ia harus orang yang ahli
dalam bidangnya (capable) sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, “ siapa yang
menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya
(HR Bukhori dan Muslim)
c. Ketiga, ia harus orang yang
dapat diterima masyarakat (acceptable) , sebagaimana yang dijelaskan
Rasullullah saw dalam hadisnya. “Sebaik-baiknya pemimpinmu ialah orang yang
kamu cintai dan mencintaimu, yang mendoakan kamu dan kamu mendoakannya” (HR
Muslim)
d. Keempat, ia harus mengupayakan
terwujudnya kemaslahatan umat/masyarakat (aspiratif) .ini sebagaimana
ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw . “ Siapa memimpin sedangkan ia tidak
memperhatikan urusan kaum muslimin, maka tidaklah Ia termasuk kedalam golongan
mereka” (HR Bukhari-Muslim)
e. Kelima, ia tidak boleh
arogan dan tidak pula otoriter , sebagaimana dikisahkan dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Ya’la , “Pemimpin yang perkataannya tidak boleh
disangkal, mereka akan berdesakan masuk neraka seperti berkeributannya
kera-kera”
f. Keenam, sebagai manusia
biasa yang tidak mungkin steril dari kesalahan, maka ia harus bersedia
dikoreksi (korektif dan reformis), sebagaimana dikatakan oleh Khalifah Umar bin
Khattab, “Hai manusia, siapa diantaramu melihat kebengkokkanku, hendaklah ia
meluruskanku.”
g. Ketujuh, selain kualitas mental
dan intelektual tersebut, agar ia sanggup menjalankan kepemimpinannya, ia juga
harus sehat dan kuat sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis, “seorang
mukmin yang sehat dan kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang
mukmin yang lemah .” Kriteria diatas termasuk kriteria paling utama
.
h. Kedelapan, Niat yang
Lurus. Hendaklah saat menerima suatu tanggung jawab, dilandasi
dengan niat sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan.Lalu iringi hal itu
dengan mengharapkan keridhaan-Nya saja.Kepemimpinan atau jabatan adalah
tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
i. Kesembilan, Laki-Laki. Wanita sebaiknya tidak memegang
tampuk kepemimpinan.Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Tidak akan
beruntung kaum yang dipimpim oleh seorang wanita (Riwayat Bukhari dari Abu
Bakarah Radhiyallahu’anhu)
j. Kesepuluh, Tidak
Meminta Jabatan. Rasullullah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah
Radhiyallahu’anhu,”Wahai Abdul Rahman bin samurah! Janganlah kamu meminta untuk
menjadi pemimpin.Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepada kamu karena
permintaan, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian, dan jika
kepemimpinan itu diberikan kepada kamu bukan karena permintaan, maka kamu akan
dibantu untuk menanggungnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
k. Kesebelas, Berpegang pada Hukum
Allah. Ini salah satu kewajiban utama seorang pemimpin.Allah
berfirman,”Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.”
(al-Maaidah:49). Jika ia meninggalkan hukum Allah, maka seharusnya dicopot dari
jabatannya. Memutuskan Perkara Dengan Adil Rasulullah
bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin mempunyai perkara kecuali ia akan datang
dengannya pada hari kiamat dengan kondisi terikat, entah ia akan diselamatkan
oleh keadilan, atau akan dijerusmuskan oleh kezhalimannya.” (Riwayat Baihaqi
dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Kabir).
l. Keduabelas, Tidak Menutup
Diri Saat Diperlukan Rakyat. Hendaklah selalu membuka pintu untuk setiap
pengaduan dan permasalahan rakyat.Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang
pemimpin atau pemerintah yang menutup pintunya terhadap kebutuhan, hajat, dan
kemiskinan kecuali Allah akan menutup pintu-pintu langit terhadap kebutuhan,
hajat, dan kemiskinannya.” (Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi).
m. Ketigabelas, Menasehati rakyat .
Rasulullah bersabda,”Tidaklah seorang pemimpin yang memegang urusan kaum
Muslimin lalu ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak menasehati mereka, kecuali
pemimpin itu tidak akan masuk surga bersama mereka (rakyatnya).”
n. Keempatbelas, Tidak Menerima
Hadiah . Seorang rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin
pasti mempunyai maksud tersembunyi, entah ingin mendekati atau mengambil
hati.Oleh karena itu, hendaklah seorang pemimpin menolak pemberian hadiah dari
rakyatnya.Rasulullah bersabda,” Pemberian hadiah kepada pemimpin adalah
pengkhianatan.” (Riwayat Thabrani).
o. Kelimabelas, Mencari Pemimpin
yang Baik Rasulullah bersabda, ”Tidaklah Allah mengutus seorang nabi atau
menjadikan seorang khalifah kecuali ada bersama mereka itu golongan pejabat
(pembantu).Yaitu pejabat yang menyuruh kepada kebaikan dan mendorongnya kesana,
dan pejabat yang menyuruh kepada kemungkaran dan mendorongnya ke sana.Maka
orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dari
Abu said Radhiyallahu’anhu).
p. Keenambelas,Lemah Lembut ,
Doa Rasullullah,’ Ya Allah, barangsiapa mengurus satu perkara umatku lalu ia
mempersulitnya, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang mengurus satu
perkara umatku lalu ia berlemah lembut kepada mereka, maka berlemah lembutlah
kepadanya.
q. Ketujuhbelas, Tidak
Meragukan dan Memata-matai Rakyat. Rasulullah bersabda,” Jika seorang
pemimpin menyebarkan keraguan dalam masyarakat, ia akan merusak mereka.”
(Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-hakim )
3. Tanggung Jawab Pemimpin
Dalam kehidupan masyarakat, apalagi pada masyarakat Islam yang memiliki
misi sangat mulia dalam hidupnya, pemimpin memiliki kedudukan yang sangat
penting Karena itu baik dan tidaknya suatu organisasi, jamaah dan
bangsa salah satunya sangat tergantung kepada pemimpin. Namun, di dalam Islam,
kesempatan menjadi pemimpin bukanlah untuk meraih popularitas kekayaan yang
banyak, apalagi untuk mengacaukan dan memperburuk kehidupan masyarakat,
kepemimpinan merupakan amanah yang harus dijalankan dengan untuk menegakkan
nilai-nilai kebenaran Islam, karenanya seorang pemimpin harus mampu
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah Taala. Rasulullah saw
bersabda :
كُلُّكٌم رَاعٍ وَ كُلُّكُم مَسؤُوْلٌ عَن رَعِيَّتِهِ
“Tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”
Memimpin adalah amanah dan tanggungjawab yang akan dipersoalkan di akhirat
nanti. Amanah dan tanggungjawab ini tidak akan terlaksana tanpa adanya pemimpin
yang berwibawa memeliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang tertentu, sesuai dengan
tugas dan tanggungjawabnya, mengajak manusia mengabdikan diri sesungguhnya
kepada Allah swt, melalui kerja-kerja memakmurkan bumi Allah swt, melakukan
islah, menegakkan kebenaran, mengujudkan keamanan, keharmonian dan
kesejahteraan dalam masyarakat dan negara.
Pertanggungjawaban kepada manusia bukanlah suatu hal yang sulit. Seorang
pemimpin bias menutupi kekurangan atau kesalahan dengan mengajukan argumentasi
atau sejenisnya. Pemimpin bisa berkelit.Lagipula manusia tidak bisa mengawasi
pemimpinnya setiap saat dan disetiap tempat karena adanya keterbatasan.
Berbeda dengan allah SWT. Dia tidak pernah tidur.Dia tidak bisa ditipu.
Bahkan manusia tak akan bisa menyembunyikandiri dari Allah SWT. Tak ada
sedikitpun perbuatan manusia yang bisa lepas dari pengawasannya.
Pemimpin yang benar-benar bertakwa senantiasa ingat allah dimanapun dan
kapanpun. Dalam dirinya tertanam pertanyaan: sudahkah aku melaksanakan
kewajiban yang benar sesuai tuntutan allah? Ia selalu takut kepada allah jika
ingin melaksanakan kemungkaran terhadap amanah yang telah dibebankan
dipundaknya .pemimpin yang bertakwa tidak mementingkan diri sendiri .ia
senantiasa memerhatikan kepentingan masyarakat banyak.
D. TUGAS dan KEWAJIBAN WARGA NEGARA DALAM PANDANGAN
AGAMA
Warga Negara adalah penduduk sebuah Negara atau bangsa berdasarkan
keturunan ,tempat kelahiran, dan sebagainya yang mempunyai hak
penuh sebagai warga dari Negara itu. Dalam pasal 26 UUD 1945
disebutkan bahwa “warga Negara adalah bangasa Indonesia asli dan bangsa lain
yang disahkan oleh undang-undang warga negara ”.
Dalam hubungan antara warga Negara dan Negara, warga negara mempunyai
kewajiban-kewajiban terhadap Negara dan sebaliknya warga Negara juga mempunyai
hak-hak yang harus diberikan dan dilindungi oleh Negara.Dalam hubungan
internasional di setiap wilayah Negara selalu ada warga Negara dan orang asing
yang semuanya disebut penduduk.Setiap warga Negara adalah penduduk suatu
Negara, sedangkan setiap penduduk belum tentu warga Negara, karena mungkin
seorang asing.Sedangkan seorang asing hanya mempunyai hubungan selama dia
bertempat tinggal di wilayah Negara tersebut.
Dari pernyataan di
atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Warga Negara
adalah warga asli, atau bangsa lain yang disahkan oleh undang-undang
2. Penduduk adalah
orang-orang asing yang tinggal dalam suatu Negara yang bersifat sementara
sesuai dengan visa (surat izin untuk memasuki suatu negara dan tinggal
sementara yang diberikan oleh pejabat suatu Negara yang dituju)yang dibrikan
Negara melalui kantor imigrasi.
Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang sesungguhnya dalam kedudukan mereka
sebagai rakyat / warga negara akan tunduk dan patuh kepada pemerintah yang sah
di mana saja mereka berada, dengan kata lain mereka akan menjadi warga Negara
yang baik. Sebab mereka memisahkan antara urusan agama dengan urusan dunia.
Untuk menjadi warga Negara yang baik , ada tugas dan kewajiban yang perlu
dilaksanakan. warga negara yang baik dalam perspektif
hadis adalah sebagai
berikut :
1. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
2. Menaati pemerintah selagi ia benar
3. Bersatu dan mengutamakan kepentingan bangsa
4. Saling mengajak kepada kebaikan dan menghindari keburukan
5. Menjadikan imu sebagai asas kehidupan
6. Toleransi dan menomorsatukan kepentingan umum di atas kepentingan peribadi
Adapun figur
masyarakat yang baik itu diantaranya:
1. Patuh kepada Allah dan
Rasul-Nya
Hal ini sesuai dengan
pendapat Dr. Yusuf Qardhawi yang mengatakan bahwa asas dasar bagi masyarakat
islam itu adalah Aqidah,keimanan,serta kepatuhan.
Firman Allah swt.“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dalam ayat di atas disebutkan kata ”athi’u” sebelum kata Allah,hal ini
disebabkan karena Allah lah yang memiliki wewenang, Allah sebagai pembuat
syariat.
Firman Allah: “ Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya
(menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu.Keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah.dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
Kemudian dalam ayat diatas disebutkan pula kata “athi’u”sebelum kata Rasul
,hal ini pun menandakan bahwa kaum beriman diwajibkan mentaati rasul-rasul-Nya,karena
rasul rasul Allah merupakan utusan-Nya dalam menyampaikan yang member
petunjuk,membimbing dang mengarahkan manusia untuk mendapatkan ridha-Nya serta
menghindarkan manusia dari azab dan murka-Nya.
Selain itu,rasul diutus untuk menyampaikan kaidah-kaidah serta nilai-nilai
yang mengatur dan menata kehidupan masyarakat serta petunjuk kejalan yang
benar.tempat mengadu dalam permasalahan,tempat kembali dari perselisihan
sehingga mengarahkan manusia kepada kebenaran,keadilan, kebaikan dan kemuliaan
serta menjauhkan dari kebatilan dan kedzaliman.
Firman Allah : “Sesungguhnya kami Telah mengutus
rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan
bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya
padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. “
2. Taat kepada pemerintah selama
sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya
Rasul menyamakan antara sunnahnya dan sunnah khulafa’ nya , ini sebagai
jaminan beliau akan kepemimpinan khalifah yang empat (abu bakar,umar,ustman,ali
alaihim radiallahu ajmain) dan pemimpin setelah itu tergantung kesolehan
pemimpin masing-masing. Selama mereka benar wajib ditaati termasuk bila
yangmemimpimpin itu non muslim dan jika bertentangan dengan jalan Allah dan
Rasulnya kita wajib untuk tidak mentaatinya bahkan merupakan jihad yang paling
utama bila berani menentang pemimpin yang dzalim . Rasul pun telah
berpesan bahwa tiada ketaatan kepada mahluk dalam hal maksiat kepada Allah. Akan tetapi, ketika lemah dan takut akan bahaya dan
ancaman pemerintah maka diperbolehkan untuk tidak melawan pemerintah dengan
catatan tetap tidak ridha dan tidak menyukai hal tersebut.
Dan ketika suatu
pemerintahan mulai tercemar kotor, dzalim dan penuh dengan kekacauan sebagai
sosok muslim hendaknya tidak lari dari pemerintah sepertiitu, seperti yang
dilakukan beberapa golongan sufi yang lebihmementingkan ibadah sendiri dengan
meninggalkan orang lain tetap dalam kubangan masalah tersebut, tetapi hendaknya
tetap bertahan melakukan apa yang bisa dilakukan demi menegakkan kebenaran,
bukan dengan menjauhi pemerintah tapi sebaliknya dengan menasehati mereka agar
memperhatikan rakyat dan bertanggung jawab atas jabatannya.
3. Bersatu dalam membangun dan
mengutamakan
persatuan bangsa
Warga negara yang baik
adalah warga yang bersatu,satu dalam arah pemikiran, satu dalam perilaku dan
tata kehidupan,tradisi,sosial budaya serta dasar-dasar hukum nya.Dalam islam
diketahui bahwa islam memiliki sebuah kesatuan yang kuat.Sebagaimana dikatakan Dr.
Yusuf Qardhawi :
“Masyarakat Islam itu
satu dalam referensinya (rujukan, sumber hukum), sekaligus sebagai sumber hidayah, itulah Al Qur'an Al
Karim dan Sunnah Al Muthahharah (yang suci). Satu dalam idolanya yaitu
Rasulullah SAW sebagai uswah hasanah.Mereka adalah masyarakat yang beriman
kepada Rabb yang satu, kitab yang satu, rasul yang satu, dan menghadap kiblat
yang satu, dengan ibadah yang satu dan berhakim dalam memutuskan segala
persoalan pada syari'at yang satu.Wala' (loyalitas)-nya pun adalah wala' yang
satu yaitu wala' kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.Hanya karena
Allah ia cinta, karena Allah ia benci, karena Allah ia mengikat hubungan dan
karena Allah pula ia memutuskan hubungan”.
Warga negara yang baik
tidak sepatutnya pecah karena fantisme golongan,ras,warna kulit,bahasa,kelas
sosial,dan apapun yang dapat merobohkan persatuan.Rasulullah saw. Telah
mewanti-wanti dan sangat anti terhadap fanatisme atau ashabiyah.
"Bukan termasuk ummatku orang yang mengajak pada ashabiyah, dan
bukan termasukummatku orang yang berperang atas dasar ashabiyah, dan bukan
termasuk ummatkuorang yang mati atas dasar ashabiyah."
4. Mengajak kepada kebaikan
dan mencegah kemunkaran
Rasulullah SAW telah menggambarkan tentang amar
ma’ruf dan nahi munkarinidengan gambaran atau ilustrasi yang menarik sekali, sebagaimana
diriwayatkan oleh Nu'man bin Basyir RA , Rasulullah SAW bersabda:
"Perumpamaan
orang yang berpegang dengan hukum-hukum Allah dan yangmelanggarnya itu bagaikan
kaum yang sama-sama menaiki kapal, sebagian ada yang diatas dan sebagian ada
yang di bawah, orang-orang yang berada di bawah apabila inginmengambil air
mereka mesti melalui orang-orang yang berada di atas, la1u orang-orangyang di
bawah itu berkata, "Seandainya kita lubangi (kapal ini) untuk
memenuhikebutuhan kita maka kita tidak usah mengganggu orang-orang yang ada di
atas kita!"Maka jika orang-orang yang di atas itu membiarkan kemauan
mereka yang di bawah,akan tenggelamlah semuanya, dan jika mereka menahan tangan
orang-orang, yang dibawah, maka akan selamat, dari selamatlah semuanya."
(HR. Bukhari)
Sesungguhnya seburuk-buruk sesuatu yang menimpa masyarakat adalah zhalimnya
parathaghut atau takutnya rakyat terhadap mereka, sehingga tidak ada suara haq,
da'wah,nasihat, amar ma'ruf dan nahi munkar. Dengan demikian hancurlah
mimbar-mimbarperbaikan, semakin surut nilai-nilai kekuatan dan semakin layu
pula pohon-pohonkebaikan, sementara kejahatan dan para penyerunya semakin
berani untuk bermunculandan menyebarkannya, sehingga mereka berhasil membuka
pasar-pasar kerusakan,memasarkan dagangan iblis dan tentaranya, tanpa ada yang melawan dan
menghentikan.Rasul telah menggambarkan bahwasanya seorang muslim
dan muslim lain yaitu bagaikan sebuah bangunan, hanya akan berdiri jika seluruh
komponen nya bersatu.
5. Menjadikan ilmu sebagai
asas kehidupan
Menuntut ilmu
pengetahuan merupakan wajib ‘ain(wajib bagi setiap umat islam) siapapun dan
kapanpun, muda, tua,laki-laki maupun permpuan.Ilmu merupakan kunci dari segala
kehidupan,baik itu bersifat duniawi seperti membangun rumah,membangun kantor
dan lainnya atau pun itu bersifat ukhrawi.maka,ilmu yang perlu dicari dan
dimiliki adalah ilmu yang bermanfaat,ilmu yang mendatangkan maslahat bukan ilmu
yang membawa kerusakan bagi diri,lingkungan maupun masyarakat.salafussalih
berkata “inna ibadatan bila ilm tufsidu aktsara minma
tushlih” ibadah tanpa ilmu lebih sering menyebabkan kerusakan dari
pada kebaikan karena tidak faham mana yang harus diutamakan, mana yg boleh dan
mana yang tidak akhirnya bisa beralih ke bid'ah.
6. Toleransi
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka
sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.
Imam malik berkata :
bagi seorang muslim wajib membela orang lemah diantara mereka meski dengan itu akan menghabiskan
harta-harta mereka . (Ahkamul qur’an.Qadhi abi bakar ibn ‘araby hal: 59).
Berikut ini ada
beberapa Kewajiban Warga Negara Indonesia :
a. Wajib menaati hukum dan pemerintahan
Pasal 27 ayat (1) UUD
1945 berbunyi :segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahandan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.
b. Wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara
Pasal 27 ayat (3) UUD
1945menyatakan : setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upayapembelaan negara”.
c. Wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain
Pasal 28J ayat 1
mengatakan :Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain
d. Wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang
Pasal 28J ayat 2
menyatakan : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
e. Wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara
Pasal 30 ayat (1) UUD
1945. menyatakan: “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara.”
E. MACAM – MACAM KAFIR
Macam – macam Kafir
dalam Pandangan Islam (Kafir Zimmi, KafirMu’ahid,Musta’min dan Harbi)
1. Pertama : Kafir Zimmi,
yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai
imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini
tidak boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan
kepada mereka. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut di antaranya firman
Allah Al-‘Aziz Al-Hakim :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan
mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya
dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang)
yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam keadaan shogirun (hina, rendah, patuh).” (QS.
At-Taubah : 29)
Dan dalam hadits
Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam
bersabda :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَمَّرَ أَمِيْرًا عَلَى جَيْشٍ أَوْ سَرِيَّةٍ
أَوْصَاهُ فِيْ خَاصَّتِهِ بِتَقْوَى اللهِ وَمَنْ مَعَهُ مِنْ
الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرًا ثُمَّ قَالَ أُغْزُوْا بِاسْمِ اللهِ فِيْ سَبِيْلِ
اللهِ قَاتِلُوْا مَنْ كَفَرَ بِاللهِ أُغْزُوْا وَلاَ تَغُلُّوْا وَلاَ
تَغْدِرُوْا وَلاَ تُمَثِّلُوْا وَلاَ تَقْتُلُوْا وَلِيْدًا وَإِذَا
لَقِيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ
فَأَيَّتُهُنَّ مَا أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ
ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ
وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا فَسَلْهُمُ الْجِزْيَةَ فَإِنْ هُمْ
أَجَابُوْكَ فَاقْبَلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ فَإِنْ هُمْ أَبَوْا
فَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَقَاتِلْهُمْ
“Adalah Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan
pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah
dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau
berkata : “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa
yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan
perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsil
(mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila
engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga
perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari
mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka: serulah mereka kepada Islam
apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan)
terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari
mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah
(tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan
kepada Allah kemudian perangi mereka.”
Dan dalam hadits
Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhary beliau berkata:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ
رَبِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُقَاتِلَكُمْ
حَتَّى تَعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ أَوْ تُؤَدُّوْا الْجِزْيَةَ
“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian
menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah.”
2. Kedua
: Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi
kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun
waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh
sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat.
Allah Jalla Dzikruhu
berfirman :
فَمَا اسْتَقَامُوا
لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Maka selama mereka
berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula)
terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS.
At-Taubah : 7).
Dan Allah berfirman :
إِلاَّ الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا
عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Kecuali orang-orang
musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka
tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula)
mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah : 4)
Dan Allah Jallat
‘Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya :
وَإِنْ نَكَثُوا
أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِيْ دِينِكُمْ
فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَ أَيْمَانَ لَهُمْ
لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
“Jika mereka merusak
sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian,
maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu
adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.”
(QS. At-Taubah : 12)
Dan Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
riwayat Bukhary :
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا
لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ
مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Siapa yang membunuh
kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu
tercium dari perjalanan empat puluh tahun.”
3. Ketiga : Kafir Musta’man,
yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau
sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang
masih berada dalam jaminan keamanan.
Allah Subhanahu Wa
Ta’ala berfirman :
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللَّهِ ثُمَّ
أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di
antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar
ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman
baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS.
At-Taubah : 6)
Dan dalam hadits ‘Ali
bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam menegaskan :
ذِمَّةُ الْمُسْلِمِيْنَ
وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ
“Dzimmah (janji, jaminan
keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang
paling bawah (sekalipun).” (HSR. Bukhary-Muslim)
Berkata Imam An-Nawawy
rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminam
keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah
(diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram
atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam
Amannya.”
Dan dalam hadits Ummu
Hani` riwayat Bukhary beliau berkata :
يَا رَسُوْلَ اللهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّيْ
أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلاً قَدْ أَجَرْتُهُ فَلاَنَ بْنَ هُبَيْرَةَ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا
مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ
“Wahai Rasulullah anak
ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib -pen.) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang
yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam bersabda : “Kami telah lindungi orang
yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`.”
4. Keempat : Kafir Harby,
yaitu kafir selain tiga di atas. Kafir jenis inilah yang disyari’atkan untuk
diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam. Akhir
ayat 29 at Taubah menunjukkan kafir zimmi sebelumnya adalah kafir harbi.
Allah Ta'aala berfirman:
“Perangilah orang-orang
yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan
mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (iaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan tunduk”.
(At-Taubah: 29).
PENUTUP
NEGARA, PEMIMPIN (KHALIFAH), DAN WARGANEGARA
A. Konsep Negara Islam di Zaman
Rasulullah
Layaknya suatu negara, negara Islam yang
dibentuk oleh Rasulullah saw memiliki struktur yang khas dan sistematik. Beliau
mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai wakil Ketua Negara. Pada masa itu wilayah
kekuasaan Islam mencakup seluruh Jazirah Arab. Untuk menjalankan roda
pemerintahan di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan (Madinah),
Rasulullah melantik para gabenor untuk memimpin wilayah.
Wilayah terbahagi atas beberapa imalah yang dipimpin
oleh amil atau hakim.
B. PEMIMPIN (Pemilihan, Persyaratan
dan Tanggungjawabnya) di Dunia Maupun Diakhirat
1. Pemilihan
Cara menentukan pemimpin, imam atau kepala
Negara :
Pertama: jumhur ahlu sunnah
berpendapat bahwa tidak ada nash baik dalam al-quran maun as-sunnah yang
menentuka kepala negara, atau cara penentuannya. Kecuali, nash-nash umum yang
bertalian dengan kekuasaan dan pengangkatan seorang penguasa (daerah) .baik ia
adalah kekuasaan besar maupun kecil.
Kedua : jika memang di
al-quran dan As-sunnah tidak ada sesuatu penetapan cara penentuan (kepala
negara), kita kembali pada apllikasi keilmuan yang selesai di masa mayoritas
sahabat dan generasi pertama diantara mereka dalam memilih para khalifah.
supaya dapat menyimpulkan dari aplikasi yang dianggap sebagai ijma’ para
sahabat ini suatu prinsip yang dapat dijadikan pegangan.
Ketiga :Prinsip pertama , pemilihan mayoritas ahlu halli wa’aqd dan kaum cerdik
pandai dimasyarakat terhadap orang yang mereka pandang cakap menduduki jabatan
kekhalifahan dan memerintah orang-orang mukmin. Dan pembai’atan mereka
kepadanya. Serta pencalonannya sebelum menjadi seorang khalifah yang
melaksanakan pemerintahan untuk mengurus wasiat (khalifah sebelumnya) akan
tetapi ia tidaklah terlaksana dengan wasiat ini, tapi dengan wasiat (pesan)
kaum muslimin sesudah meninggalnya khalifah yang mengamanatkannya kepada orang
sesudahnya.Prinsip kedua : bai;at mayoritas umat islam kepada khalifah yang
dicalonkan. Mereka rela kepadanya dan menerima kekhalifahannya dan persetujuan
mayoritas mereka atasnya.
2. Persyaratan
Ada beberapa
persyaratan / Kriteria menurut islam.
a) ia harus orang yang beriman.
b) ia harus orang yang ahli dalam bidangnya.
c) ia harus orang yang dapat diterima masyarakat.
d) ia harus mengupayakan terwujudnya kemaslahatan
umat/masyarakat.
e) ia tidak boleh arogan dan tidak pula otoriter. dsb
3. Tanggung Jawab Pemimpin
Memimpin adalah
amanah dan tanggungjawab yang akan dipersoalkan di akhirat nanti. Amanah dan
tanggungjawab ini tidak akan terlaksana tanpa adanya pemimpin yang berwibawa
memiliki ciri-ciri dan
sifat-sifat yang tertentu, sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya, mengajak
manusia mengabdikan diri sesungguhnya kepada Allah swt, melalui kerja-kerja
memakmurkan bumi Allah swt, melakukan islah, menegakkan kebenaran, mengujudkan
keamanan, keharmonian dan kesejahteraan dalam masyarakat dan negara.
C. Tugas Dan
Kewajiban Warga Negara Dalam Pandangan Agama
Untuk menjadi warga Negara yang baik , ada tugas dan kewajiban yang perlu
dilaksanakan. warga negara yang baik dalam perspektif hadis
adalah sebagai
berikut :
a) Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
b) Menaati pemerintah
selagi ia benar
c) Bersatu dan mengutamakan kepentingan bangsa
d) Saling mengajak kepada
kebaikan dan menghindari keburukan
e) Menjadikan imu sebagai asas kehidupan
f) Toleransi dan menomorsatukan kepentingan umum di atas kepentingan peribadi
D. Ada 4 Macam Kafir dalam Pandangan Islam yaitu :
1. Kafir Zimmi, yaitu orang kafir yang membayar jizyah
(upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di
negeri kaum muslimin.
2. Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah
terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam
kurun waktu yang telah disepakati.
3. Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat
jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin.
4. Kafir Harby, yaitu kafir selain tiga di atas. Kafir
jenis inilah yang disyari’atkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah
ditetapkan dalam syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi. 1973. Al-Ahkam al-Sultaniyyah wal
Wilayat al-Diniyyah. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi.
Al-mubarak, Muhammad. 1995. system
pemerintahan dalam perspektif islam . CV PUSTAKA MANTIQ.
Hafidhuddin , didin. 2000.Pemimpin ideal
dalam islam. Jakarta: pustaka
zaman.
Moten,Abdul Rashid.
2001.Ilmu Politik Islam. Bandung: Pustaka.
Srijanti, A. rahman H.I,Purwanto S.K.2008. etika
berwarga Negara.Jakarta: salemba empat.
Qutub, Sayid. 1983. Masyarakat Islam. Bandung:
Al-Maarif.
Al-Ghabban, Syaikh Munir
Muhammad.2009 .MANHAJ NARAKI Strategi pergerakan dan perjuangan politik
dalam sirah nabi saw . Jakarta: Robbani Press
Pembagian Orang Kafir Dalam Islam
http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/03/13/pembagian-orang-kafir-dalam-islam-2/
13 Maret 2010 Posted by Fadhl Ihsan
Konsep Negara Islam
ditulis oleh Abdur Rosyid
Penulis adalah
alumnus FMIPA-UI, dosen, dan pengamat masalah sosial-politik Islam