twitter


A.       TEORI PEMBELAJARAN PIAGET
Menurut Piaget (dalam Hudoyo, 1988:45), anak SD berumur sekitar 6/712 tahun berada pada periode operasi konkret. Periode ini disebut operasi konkret sebab berpikir logiknya didasarkan pada manipulasi fisik objek objek konkret. Anak yang masih berada pada periode ini untuk berpikir abstrak masih membutuhkan bantuan memanipulasi obyek obyek konkret atau pengalamanpengalaman yang langsung dialaminya.
Dalam belajar, menurut Piaget, struktur kognitif yang dimiliki seseorang terjadi karena proses asimilasi dan akomodasi. Jadi belajar tidak hanya menerima informasi dan pengalaman lama yang dimiliki anak didik untuk mengakomodasikan informasi dan pengalaman baru. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan pada tahap operasi konkret adalah pembelajaran yang didasarkan pada benda –benda konkret agar mempermudah anak didik dalam memahami konsep konsep matematika.
Menurut Piaget perkembangan belajar anak melalui 4 tahap, yaitu konkret, semi konkret, semi abstrak, dan abstrak.
a.    Pada tahap konkret, kegiatan yang dilakukan anak adalah untuk mendapatkan pengalaman  langsung atau memanipulasi objek objek konkret.
b.    Pada tahap semi konkret sudah tidak perlu memanipulasi objek objek konkret lagi seperti pada tahap konkret, tetapi cukup dengan gambaran dari objek yang dimaksud.
c.    Kegiatan yang dilakukan anak pada tahap semi abstrak memanipulasi/ melihat tanda sebagai ganti gambar untuk dapat berpikir abstrak.
d.   Sedangkan pada tahap abstrak anak sudah mampu berpikir secara abstrak dengan melihat lambang/ simbol atau membaca/ mendengar secara verbal tanpa kaitan dengan objek objek konkret.
B.       TEORI PEMBELAJARAN BRUNER
Menurut Bruner (Hudoyo, 1988:56), belajar matematika adalah belajar tentang konsep konsep dan strukturstruktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan hubungan antara konsep konsep dan struktur struktur matematika. Bruner melukiskan anak anak berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental, yaitu:
1.         Tahap Enaktif
Pada tahap ini, dalam belajar anak didik menggunakan atau memanipulasi objek objek konkret secara langsung. Misalnya untuk memahami konsep operasi pengurangan bilangan cacah 7 –  4, anak memerlukan pengalaman  mengambil/ membuang 4 benda dari sekelompok 7 benda.
2.         Tahap Ikonik
Pada tahap ini kegiatan anak didik mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek objek konkret. Anak didik tidak memanipulasi langsung objek objek konkret seperti langsung objek objek konkret seperti pada tahap enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek objek yang dimaksud.
3.         Tahap Simbolik
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek.
Dari hasil penelitian Bruner ke sekolah sekolah, dalam belajar matematika ada beberapa teori yang berlaku yang disebutnya dengan dalil
a.      Dalil Penyusunan
Menurut dalil penyusunan, siswa selalu ingin mempunyai kemampuan menguasai definisi, teorema, konsep dan kemampuan matematis lainnya. Oleh karena itu siswa hendaknya dilatih untuk melakukan penyusunan representasinya. Untuk menguasai suatu konsep matematis hendaknya siswa mencoba dan melakukan sendiri kegiatan yang mengacu pada perumusan dan penyusunan konsep tersebut. Jika dalam proses perumusan dan penyusunan tersebut disertai bantuan objek objek konkret, maka anak lebih mudah untuk memahaminya, dan ide/konsep tersebut lebih tahan lama dalam ingatannya. Untuk itu dalam pembelajaran konsep matematis, guru hendaknya benar benar memberi kesempatan anak untuk melaksanakan tahap enaktif.
b.      Dalil Notasi
Dalil notasi menyatakan bahwa dalam penyajian konsep matematis, notasi memegang peranan yang sangat penting. Penggunaan notasi dalam menyatakan konsep matematis tertentu harus disesuaikan dengan tahap perkembangan anak didik. Misalnya notasi untuk menyatakan fungsi f(x) = x  + 5, untuk anak SD dapat digunakan +  = Δ + 5, sedangkan bagi anak sekolah  lebih lanjut (SLTP) dapat digunakan {(x,y) | y = x + 5}.
c.       Dalil Pengkontrasan dan Keanekaragaman
Menurut hasil penelitian Bruner,  pengkontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan pengubahan konsep matematika dari konsep konkret menjadi konsep yang lebih abstrak. Untuk melakukan itu diperlukan banyak contoh dan beranekaragam, sehingga anak memahami karakteristik konsep yang dipelajari. Contoh contoh yang diberikan hendaknya memenuhi rumusan konsep yang sedang dipelajari. Untuk dapat lebih memahami karakteristik konsep, juga diperlukan contoh yang tidak memenuhi rumusan konsep.
d.      Dalil Pengaitan
Dalil pengaitan menyatakan bahwa antara konsep matematika yang satu dengan konsep yang lain mempunyai kaitan yang erat, baik dari segi isi maupun dari segi penggunaan rumusrumus. Materi yang satu merupakan prasyarat bagi materi yang lain, atau suatu konsep digunakan untuk menjelaskan konsep yang lain. Misalnya rumus luas jajargenjang merupakan materi prasyarat untuk penemuan rumus luas segitiga yang diturunkan dari rumus luas jajargenjang. Dengan pendekatan intuitif deduktif, rumus isi tabung diperlukan untuk menemukan rumus isi kerucut.
C.       TEORI PEMBELAJARAN DIENES
Perkembangan konsep matematika menurut Dienes (dalam Resnick, 1981: 120) dapat dicapai melalui pola berkelanjutan yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajarnya berjalan dari yang konkret ke simbolik. Tahap belajar adalah interaksi yang direncanakan antara satu segmen struktur pengetahuan dan belajar aktif, yang dilakukan melalui media matematika yang didesain secara khusus. Menurut Dienes, permainan matematika sangat penting sebab operasi matematika dalam permainan tersebut menunjukkan aturan secara konkret dan lebih membimbing dan menajamkan  pengertian matematika pada anak didik.
Dapat dikatakan bahwa objek objek konkret dalam bentuk permainan mempunyai peranan sangat penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik. Menurut Dienes (dalam Ruseffendi. 1992: 125— 127), konsep konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahaptahap tertentu.
Dienes membagi tahaptahap belajar menjadi 6 tahap, yaitu:
1.         Permainan bebas (free play)
Dalam setiap tahap belajar, tahap yang paling awal dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Anak didik diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Dalam tahap ini anak mulai belajar membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep. Guru dapat mengarahkan pengetahuan dan mempertajam konsep yang sedang dipelajari.
2.         Permainan yang disertai aturan  (games)
Pada periode permainan yang disertai aturan (terstruktur), anak didik mulai meneliti pola pola dan keteraturan yang terdapat atau tidak terdapat dalam konsep matematika tertentu. Melalui permainan anak mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Pada tahap ini anak didik juga sudah mulai mengabstraksikan konsep. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam macam pengalaman dan kegiatan untuk menolak yang tidak relevan dengan pengalaman itu.
3.         Permainan kesamaan sifat (searching for comunities)
Dalam permainan untuk mencari kesamaan sifat, anak mulai diarahkan dalam kegiatan untuk mencari sifat sifat yang sama dari permainan yang sedang diikuti. Untuk itu perlu diarahkan pada pentranslasian kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi yang dilakukan tentu saja tidak boleh mengubah sifat sifat abstrak dari permainan semula.
4.         Representasi (representation)
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para anak didik menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak. Dengan melakukan representasi, anak didik telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang bersifat abstrak pada topik-topik yang sedang dipelajari.
5.         Simbolisasi (symbolization)
Simbolisasi adalah tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal. Sebagai contoh, dari kegiatan mencari banyaknya diagonal dengan pandekatan induktif tersebut, kegiatan berikutnya menentukan rumus banyaknya diagonal suatu poligon yang digeneralisasikan dari pola yang didapat anak.
6.         Formalisasi (formalization)
Tahap ini adalah tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini, anak didik dituntut untuk menurunkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru rumus tersebut. Contohnya, anak didik yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan suatu teorema berdasarkan aksioma, dalam arti membuktikan teorema tersebut. Dienes (dalam Resnick, 1981: 120) menyatakan bahwa proses pemahaman (abstraction) berlangsung selama belajar. Untuk pengajaran konsep matematika yang lebih sulit perlu dikembangkan materi matematika secara konkret agar konsep matematika dapat dipahami dengan tepat. Dienes berpendapat bahwa materi harus dinyatakan dalam berbagai penyajian  (multiple embodiment), sehinga anak dapat bermain dengan bermacam-macam material yang dapat mengembangkan minat anak didik.
D.       TEORI PEMBELAJARAN SKEMP
Menurut Richard Skemp (dalam Karim, dkk, 1997: 23—24), anak belajar matematika melalui dua tahap, yaitu konkret dan abstrak. Pada tahap pertama, yaitu tahap konkret, anak memanipulasi benda-benda konkret untuk dapat menghayati ide-ide abstrak. Pengalaman awal berinteraksi dengan benda konkret ini akan membentuk dasar bagi belajar selanjutnya, yaitu pada tahap abstrak atau tahap kedua.
Menurut Skemp, agar belajar menjadi berguna bagi seorang anak sifatsifat umum dari pengalaman anak harus dipadukan untuk membentuk suatu struktur konseptual atau suatu skema. Dengan demikian, guru hendaknya memberi kegiatan pada anak untuk menyusun struktur matematika sedemikian rupa agar jelas bagi anak didik sebelum mereka dapat menggunakan pengetahuan awalnya sebagai dasar untuk belajar pada tahap berikutnya, atau sebelum mereka menggunakan pengetahuan mereka secara efektif untuk menyelesaikan masalah
E.       TEORI PEMBELAJARAN BROWNELL
Menurut William Brownell (dalam Karso, 1999: 1.22), pada hakikatnya belajar merupakan suatu proses yang bermakna, dan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan pengertian. Dalam pembelajaran matematika SD, Brownell mengemukakan teori makna (meaning theory). Menurut teori makna, anak harus memahami makna dari topik yang sedang dipelajari, memahami simbol tertulis, dan apa yang diucapkan. Memperbanyak latihan (drill) merupakan jalan yang efektif. Tetapi, latihan latihan yang dilakukan haruslah didahului dengan pemahaman makna yang tepat.
Brownell (dalam Karso, 1999: 1.25—1.26) mengemukakan bahwa kemampuan mendemonstrasikan operasi-operasi hitung secara otomatis dan mekanis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pembelajaran aritmetika adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir dalam situasi kuantitatif. Oleh karena itu, pembelajaran aritmetika di SD harus membahas tentang pentingnya (significane) dan makna (meaning) dari bilangan.
F.        TEORI PEMBELAJARAN SKINNER
Burrush Frederich Skinner (dalam Ruseffendi 1992: 127—128) menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan proses yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif, sedangkan penguatan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada halhal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.
 Skinner juga berpendapat bahwa penguatan dibagi atas dua bagian yaitu, penguatan positif dan penguatan negatif. Penguatan merupakan stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku anak didik dalam melakukan pengulangan perilaku tersebut. Jadi penguatan yang diberikan kepada anak didik memperkuat tindakan anak didik, sehingga anak didik cenderung untuk sering melakukannya. Contoh penguatan positif antara lain pujian pada saat anak didik menjawab benar atau mendapat nilai tinggi
G.      TEORI PEMBELAJARAN THORNDIKE
Edward L. Thorndike (18741949) mengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan Law of Effect”. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran lainnya. Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak didik berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak didik muncul kepuasan sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak didik yang telah memperoleh suatu kesuksesan, pada giliran berikutnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan yang lebih tinggi. Teori pembelajaran stimulus respon yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakekatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon.
H.       TEORI PEMBELAJRAN VAN HIELE
Teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Van Hiele (1964), menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak didik dalam bidang geometri. Menurut Van Hiele, ada tiga (3) unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga hal tadi ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak didik pada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.
Van Hiele juga menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak didik dalam belajar geometri, yaitu:
1.                   Tahap Pengenalan
Dalam tahap ini anak didik mulai belajar mengenal suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu.
2.                   Tahap Analisis
Pada tahap ini anak didik sudah mulai mengenal sifat sifat yang dimiliki benda geometri yang diamati. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri tersebut.
3.                   Tahap Pengurutan
Pada tahap ini anak didik sudah mulai mampu melakukan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah anak didik pada tahap ini sudah mampu mengurutkan.
4.                   Tahap Deduksi
Dalam tahap ini anak didik sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan disamping unsur-unsur yang didefinisikan.
5.                   Tahap Akurasi
Dalam tahap ini anak didik sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksiomaaksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Ia mengetahui bahwa dengan dasar aksioma yang berbeda maka pernyataan benar untuk suatu hal yang sama akan berbeda pula. 

0 komentar:

Posting Komentar