Beberapa pendidik percaya bahwa sastra
dapat menjadi sarana yang ampuh bagi pembentukan karakter. Weaver (1994),
misalnya, mengatakan bahwa “karakter yang terdapat dalam sastra memiliki
kekuatan potensial yang hampir sama dengan sosok manusia sungguhan dalam
memengaruhi pembaca melalui pengalaman seorang pembaca ketika membaca.
Guru Bahasa Indonesia dan Sastra
memiliki peranan penting dalam rangka pembentukan karakter peserta didik. Hal
ini terjadi bukan karena sekedar kerena kemampuan berbahasa merupakan prasyarat
sebuah pembelajaran yang berhasil, melainkan karena melalui bahasalah seorang
individu mampu memahami, mengakuisisi dan pada akhirnya mengeksekusi pemahaman
itu menjadi sebuah keyakinan ketika keyakinan itu tampil dalam wujud perilaku
yang konsisten, berlandaskan motivasi yang benar dan diperjuangkan secara terus
menerus.
Karena guru Bahasa Indonesia dan Sastra
ini begitu penting, maka para guru perlu memahami dan merefleksikan bagaimana
cara mereka mengajar para peserta didik agar mereka dapat mempelajari sastra
secara efektif dan bermakna. Ketika membaca, seorang anak mempergunakan skema
mental yang dimilikinya untuk memahami dan mengerti teks yang dibacanya.
Semakin familiar teks itu, semakin mudah ia memahami, semakin tidak familiar,
semakin sulit ia memahami isi teks tersebut. Proses pengolahan informasi ini
juga menentukan kadar keberhasilan seorang anak dalam memecahkan persoalan
maupun dalam membuat evaluasi atas sebuah teks.
Skema mental ini ternyata juga
memengaruhi kecepatan seorang anak dalam memahami persoalan moral yang akan
menentukan caranya dalam mengambil keputusan moral. Semakin skema itu familiar
dengan pendekatan moral yang diyakininya, anak akan semakin cepat memahami dan
mengambil keputusan. Skema pemahaman moral ini bersifat komulatif, yaitu
dipelajari dari tahap pemahaman yang sederhana sampai tingkat pemahaman moral
lebih tinggi dan kompleks. Pemahaman moral seorang anak akan memengaruhi
kemampuannya dalam mengambil keputusan moral.
Pertumbuhan seorang anak agar semakin
piawai dalam mengambil keputusan moral terbentuk dari skema moral yang
dimilikinya. Skema moral ini terbentuk dari kumpulan pengalaman, kesamaan, dan
kejadian-kejadian sejenis yang membuat seorang anak mampu mengambil sikap akan
apa yang baik dan apa yang buruk. Skema moral ini memberikan kunci baginya
untuk memahami pengalaman sosialnya.
Para peneliti juga mencoba melihat
kaitan antara teks yang kental dengan muatan moral dalam kaitannya dengan
perkembangan moral seorang anak. Ditemukan bahwa agar dapat membaca teks moral
secara baik, memiliki kemampuan membaca saja ternyata tidaklah mencukupi. Latar
belakang pengetahuan dan level perkembangan moral anak akan memengaruhi daya
ingat mereka akan teks-teks moral yang kompleks. Jadi, semakin tinggi skema
moral seorang anak, semakin persis ia dapat menceritakan kembali persoalan
moral yang ada didalam teks.
Dari berbagai macam penelitian ini,
dapat kita simpulkan bahwa:
1. Membaca
merupakan sebuah tindakan aktif
2. Pembaca
memahami makna isi yang berbeda dari sebuah teks berdasarkan latar belakang
mereka, seperti keterampilan, pengetahuan dan keahlian.
3. Pembaca
tidak harus selalu menangkap makna atau pesan dari si penulis sebuah teks.
4. Pesan
moral dapat ditangkap dengan baik atau tidak tergantung dari perkembangan moral
dan skema moral seorang anak.
Secara umum, pendidikan karakter
senantiasa melibatkan 3 dimensi penting yang ada didalam diri manusia (Lickona,
1993). Tiga dimensi ini menjadi satu kesatuan, meskipun secara teoritis bisa
dipisahkan, namun secara praktis, ketiga hal ini ada dalam diri manusia.
Pembentukan karakter seorang individu akan sangat dipengaruhi oleh kemampuannya
dalam memahami apa yang baik (moral knowledge), melaksanakan apa yang
diyakininya sebagai kebaikan (moral action) dan mencintai perilaku
moral tersebut, karena dengan melakukannya, seorang individu menemukan
kepuasan, kebermaknaan dan kebahagiaan didalam hidup (moral feeling).
Strategi pengajaran dalam pembelajaran
sastra mesti memerhatikan tiga dimensi ini. Sebab, memiliki kemampuan membaca
saja tidaklah mencukupi agar seseorang sampai pada pemahaman dan praksis moral
yang tepat. Mengingat bahwa peserta didik itu tidak otomatis dapat menangkap
pesan dan makna dari teks yang dibaca, proses pembelajaran sastra mesti
dimodifikasi dengan melibatkan kehadiran orang dewasa sebagai pembimbing yang
mengarahkan dan menjadi rekan dalam pembelajaran. Disinilah, guru pendidikan
Bahasa Indonesia dan Sastra menjadi sangat penting.
Pendidikan karakter tidak dapat
menghindarkan diri dari tujuan dasarnya, yakni bertumbuhnya kemampuan akademis
dan pembentukan karakter yang kuat dan kokoh. Dengan membaca, anak dilatih
untuk makin mahir dalam menerima dan menyerap informasi. Melalui budi dan
pikirannya, mereka mencoba menafsirkan, memahami, dan bertindak atas informasi
yang telah mereka peroleh. Upaya-upaya tersebut membuat mereka juga mampu
berpartisipasi dan bertindak dalam rangka membentuk dunia dan lingkungan sesuai
dengan pemahaman mereka. Karena itu, maka pentinglah bagi anak didik untuk
menumbuhkan kemampuan refleksifnya terhadap nilai-nilai moral dari hari kehari.
Mengingat adanya keterkaitan yang
erat antara keterampilan membaca dengan kemampuan anak-anak dalam
memahami nilai-nilai moral, kiranya perlu disebut disini beberapa metode
pengajaran yang bisa membantu para pendidik dalam rangka pengembangan moral literacy
peserta didik.
1. Metode
diskusi
Menurut leal (1990), diskusi memiliki
penekanan khusus dalam proses pembelajaran ini karena, “akuisisi pengetahuan
oleh peserta didik tidak terbatas pada konstruksi makna yang sifatnya pribadi,
melainkan makna itu terentuk dan terbentuk kembali melalui prosese social yang
panjang. Selain itu, tidaklah mungkin bagi kita memiliki interpretasi yang
relative sahih dan objektif terlepas dari konteks social sebuah komunitas.
2. Metode
debat
Sebuah kelas yang terstruktur dalam
rangka mempelajari tema-tema yang controversial bisa membantu siswa untuk
menajamkan refleksi yang dapat menumbuhkan kesadaran moral mereka. Misalnya,
siswa mempertahankan sebuah tema yang dibahas, sedangkan dilangkah berikutnya,
siswa mencoba mengkritisi gagasan dan tema yang tadi telah dipertahankannya.
Strategi ini akan membantu siswa dalam memahami kompleksitas persoalan moral
dan intensitas moral yang dihadapi.
3. Metode
riset atau penelitian
Dalam pembelajaran sastra, siswa perlu
diajak untuk mendalami dengan lebih jauh persoalan moral yang ada didalam teks,
sehingga siswa dapat memahami secara lebih mendalam persoalan-persoalan moral
yang terdapat didalam teks. Ini akan dapat membuat para siswa semakin terbuka
pemahaman dan wawasannya.
4. Motode
bermain peran melalui sebuah drama
Siswa dapat semakin mendalami kodrat dan
motivasi karakter-karakter dalam cerita. Metode ini akan sangat membantu siswa
untuk memahami dan mendalami kualitas individu yang terlibat ketika mereka
memecahkan persoalan hidup secara damai.
5. Menulis
jurnal atau membuat essay
Memberikan tugas menulis essai
memungkinkan siswa merefleksikan pembelajaran yang mereka alami dan
menerapkannya dalam kehidupan mereka. Guru bisa memancing pertanyaan dalam
rangka penulisan dengan bertanya, apa yang kamu lakukan bila kamu berada dalam
posisi tokoh atau orang dalam bacaan itu ?
6. Metode
pengalaman langsung
Ketika anak diajarkan untuk memahami
nilai-nilai tertentu, metode yang dipakai adalah member ruang bagi peserta
didik agar ia mau mempraktikannya secara langsung, baru kemudian membuat
laporan, berupa refleksi dan evaluasi atas persoalan tersebut.