Setiap
musim ujian nasional alias UN, saya selalu teringat pada Muhammad Abrary
Pulungan (14), siswa dari SD Negeri 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Tiga tahun lalu, ia pernah menjadi pusat pergunjingan lantaran melaporkan
kecurangan UN di sekolahnya. Naas, bukannya mendapat apresiasi, ia justru
dihujani kecaman dari berbagai pihak terkait. Seperti orang Jawa bilang, nulung
malah kepentung.
Pada
tahun yang sama, kasus serupa dialami oleh Alif (14), siswa dari SD Negeri 02
Gadel, Tandes, Surabaya, Jawa Timur. Seperti dikabarkan media, ia diminta
gurunya memberikan jawaban soal UN kepada temannya yang tidak bisa. Pasca
ujian, ia tidak tahan dan melaporkan perintah guru itu kepada orangtuanya. Dampaknya,
Alif dan keluarganya diusir warga karena tidak suka dengan kejujuran tersebut.
Mereka dituding sok jujur oleh guru, orangtua siswa lain, dan masyarakat sekitar
tempat tinggalnya.
Pendidikan
kita memang masih karut-marut. Meski bukan lagi menjadi penentu tunggal
kelulusan siswa, UN yang tetap menjadi momok siswa telah dipolitisasi menjadi
penentu keberhasilan guru, sekolah, dan pemerintah daerah. Alhasil, ketidakpercayaan
pemerintah dengan membuat varian soal begitu banyak, tetap saja bocor karena UN
telah menjadi muara berbagai kepentingan. Yang pasti, anggaran untuk UN pada
tahun lalu mencapai Rp 600 miliar. Ini hampir sebanding dengan anggaran awal
revisi Kurikulum 2013 sebelum kemudian membengkak mencapai Rp 1,4 triliun
lebih, dengan perincian anggaran pencetakan buku Rp 1,03 triliun dan biaya
pelatihan guru Rp 422 miliar.
Kelayakan pendidikan
Seperti
apa pun wajah pendidikan kita, pendidikan tetaplah penting. Namun, bagaimana
kelayakan pendidikan itu? Bagaimana memformulasikan implementasinya? Dengan
kata lain, rumusan konsep yang baik masih menjadi wacana. Pendidikan kita masih
berorientasi pada pemenuhan nilai tertulis ketimbang aspek perilaku, sesuatu yang
lebih krusial daripada itu. Nilai tertulis atau lebih tepatnya aspek kognitif
masih menjadi ukuran baku. Kasus Abrary dan Alif menunjukkan, masyarakat kita
masih terpaku pada nilai sebagai satu-satunya keutamaan yang harus didapat
siswa, bagaimanapun caranya.
Aspek
kognitif tentu saja penting. Namun, pencapaian kognitif dalam wujud nilai
tertulis hanyalah salah satu parameter yang harus diselaraskan dengan
pencapaian afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif tak boleh jadi ukuran
tunggal. Sebab, itu berarti program pendidikan nasional dewasa ini baru sebatas
menggerakkan fungsi otak siswa, bukan jiwa. Program pendidikan semacam itu
sebatas melahirkan ”manusia kaset” yang hanya bisa mendengar, tetapi tidak
mampu mewujudkan dalam bersikap dan bertindak (Kompas, 22/9/2001).
Akar
permasalahan lain yang menjadi kendala terciptanya pendidikan yang layak adalah
anggapan bahwa belajar adalah suatu kewajiban, bukan hak dan kebutuhan. James
Foo dalam artikelnya, Retorika Pendidikan Indonesia, menjelaskan bahwa jika diamati
dengan saksama, gagasan wajib belajar merupakan suatu absurditas atau
kontradiksi.
Bukan paksaan
Pertama,
proses belajar tidak mungkin berjalan efektif jika ada suatu pemaksaan pada
diri pembelajar. Gagasan pendidikan yang berpusat pada siswa senantiasa
mengedepankan kesadaran diri pembelajar atas proses belajar yang dijalaninya.
Ini berdasarkan prinsip bahwa dorongan atau keinginan belajar dari diri sendiri
merupakan unsur utama dalam proses belajar. Proses belajar yang dipaksakan juga
tidak akan pernah bertahan.
Kedua,
wajib belajar tampaknya telah rancu dengan wajib bersekolah. Seorang siswa atau
siswi yang tidak pergi ke sekolah pada jam sekolah jelas menyalahi wajib
bersekolah. Bagaimana dengan wajib belajar? Jika belajar merupakan suatu
kewajiban, indikator apa yang menentukan seseorang lalai belajar atau tidak?
Betapa
sulitnya mengukur apakah seseorang sedang belajar atau tidak. Seorang anak yang
bermain di pematang sawah atau tepi pantai, apakah sedang tidak belajar?
Seorang anak yang membantu ibunya berjualan di pasar apakah sedang tidak
belajar? Seseorang anak berumur 10 tahun dan sedang melamun di bawah pohon pada
jam sekolah, misalnya, apakah sedang melanggar kewajiban belajar?
Hal
itulah yang harus kita pahami bersama. Intinya, seorang pendidik selain
menanamkan nilai, juga harus memberi penyadaran bahwa belajar itu bukan suatu
kewajiban, melainkan sebuah hak. Dengan begitu, siswa menganggap, belajar itu
merupakan kebutuhan yang menyenangkan, bukan beban.
Saiful
Mustofa ; Pegiat Literasi di Tulungagung
Sumber : KOMPAS 21 Mei 2014