twitter


PERILAKU otentik siswa dalam belajar dan guru dalam mengajar perlu terus diupayakan. Siswa idealnya bersemangat untuk memahami, bahkan memecahkan, berbagai masalah yang muncul di sekitarnya. Intinya, mereka belajar memahami dan memikirkan lingkungannya agar siap saat memasuki kehidupan, bukan hanya saat menghadapi ujian. Kalaupun ada ujian, itu hanya sebagian kecil pengalaman belajar yang perlu dilewati. Ujian bukan segala-galanya, hanya bagian kecil dari proses besar yang namanya belajar. Hakikat belajar yang sesungguhnya adalah berpikir dalam arti seluas-luasnya.
Belajar mengondisikan siswa berpikir, memahami fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang terkait dengan berbagai disiplin ilmu untuk memecahkan masalah. Itulah esensi belajar yang sesungguhnya perlu diciptakan guru. Guru sebagai manajer kelas idealnya menjadi penyedia fasilitas, penyiap kondisi, pendamping siswa, mitra siswa, pencerah, dan sumber inspirasi bagi siswa dalam belajar. Guru idealnya mengondisikan siswa belajar benar, bukan hanya menjelaskan, memindahkan pengetahuan, serta mendampingi siswa berlatih mengerjakan soal dan membahasnya.
Kenyataannya, saat ini yang terjadi sebaliknya. Perilaku otentik guru yang memfasilitasi, menyediakan sumber belajar, mendampingi siswa belajar berpikir dalam arti yang seluas-luasnya tereduksi sangat nyata. Guru cenderung hanya menyiapkan siswa menghadapi ujian. Bagaimana dengan berbagai ujian yang diberikan kepada siswa saat ini? Sebenarnya, berlatih mengerjakan berbagai model soal itu bukan sepenuhnya salah. Akan tetapi, siswa bersemangat belajar hanya karena ada ujian adalah contoh perilaku yang tidak otentik. Sebaliknya, ada atau tidak ada ujian, siswa bersemangat mencari sumber, membaca, dan mendalaminya adalah perilaku otentik yang semestinya diciptakan. Mereka berbuat bukan karena ada ujian, melainkan karena menyadari bahwa kehidupan yang akan dimasuki tantangannya semakin berat dan mereka harus bisa bertahan. Guru memfasilitasi siswa berperilaku otentik bukan karena siswanya akan menghadapi berbagai ujian, melainkan karena menyadari bahwa siswanya kelak akan berjuang di tengah masyarakat, menghadapi persoalan yang semakin kompleks.
Berikut disajikan beberapa ilustrasi. Ketika siswa harus mempelajari topik koperasi, misalnya, siswa tidak boleh hanya membaca pengertian dan ciri-ciri koperasi, syarat pendirian koperasi, dan pasal-pasal dalam Undang-Undang Koperasi. Lebih dari itu, guru wajib menyediakan beragam bacaan tentang koperasi, termasuk berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi koperasi di tengah pertarungan ekonomi global. Ada contoh-contoh keberhasilan koperasi di Denmark atau negara-negara lainnya. Ada upaya analisis kegagalan koperasi di Indonesia. Paling tidak, untuk kawasan ASEAN, bagaimana kita bisa membawa koperasi benar-benar menjadi saka guru perekonomian nasional? Ilustrasi lain, ketika mempelajari tumbuhan atau tanaman dalam biologi, misalnya tentang tomat, siswa tidak hanya membaca dan menghafal bahwa tomat itu termasuk tumbuhan monokotil dan ciri-ciri tumbuhan monokotil, tetapi lebih jauh dari itu. Siswa diajak membaca beragam teks untuk memperoleh pemahaman menyeluruh dan mendalam tentang tomat, mulai dari memilih benih sampai ekspor saus tomat, kemudian mendiskusikan dan jika mungkin mempraktikkannya.
Dengan tawaran kebijakan dan praktik pendidikan/pembelajaran yang otentik di atas, apakah ujian tidak diperlukan lagi? Ujian tetap perlu diadakan. Hanya saja, semangatnya bukan untuk menagih ingatan siswa—seperti yang terjadi saat ini—setelah mereka membaca dan menghafal paket-paket materi yang kering, melainkan untuk mengondisikan agar siswa gemar membaca, belajar berpikir secara kritis, mendalam, dan komprehensif, serta belajar memecahkan berbagai masalah nyata di sekitarnya. Dengan demikian, model ujiannya secara otomatis perlu dimodifikasi, tidak lagi didominasi bentuk pilihan ganda seperti saat ini. Pilihan ganda sangat dibatasi, itupun hanya untuk pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya benar-benar hanya satu, tidak ada jawaban alternatif. Model pertanyaan yang ditonjolkan adalah analisis kasus, berbasis masalah, berbasis proyek, dan latihan eksperimen. Sekalipun ada sedikit pertanyaan pilihan ganda, pemberian bentuk soal seperti itu semangatnya untuk membiasakan siswa menguasai setiap topik, mulai dari yang sederhana, sekadar data ingatan, misalnya, sampai ke persoalan yang kompleks.

Suyono  ;   Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Muhammadiyah Malang
Sumber : KOMPAS 22 Mei 2014

0 komentar:

Posting Komentar