Hari-hari
terakhir ini dunia pendidikan kita kerap diwarnai kekerasan dan mengarah pada
aksi kriminal. Fungsi pendidikan untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian
tercoreng aksi individu yang lebih menggunakan cara-cara kekerasan dibanding
dialog. Tawuran antarpelajar, penyiksaan rekan sekolah, pembunuhan, bahkan
penyimpangan seks, beritanya menyebar ke relung hati. Ini merefleksikan ulang
sejauh mana pendidikan berperan dalam meminimalkan tindakan-tindakan biadab
tersebut. Apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita sebenarnya merupakan
cermin dari yang terjadi dalam masyarakat sesungguhnya. Saat kekerasan menjadi
satu-satunya solusi, ketika negara melalui aparatusnya sudah kehilangan
kepercayaan diri dan tidak lagi dihormati warga, rakyat pun akan memutuskan
tindakannya sendiri.
Komunikasi Tersumbat
Akar
masalah kekerasan pun semakin beragam, kendati semuanya bermuara pada satu
masalah utama, yakni tersumbatnya jalur komunikasi dalam memecahkan masalah.
Satu demi satu berbagai persoalan mengemuka. Konflik industrial perburuhan,
konflik atas nama agama, konflik perebutan aset sumber daya alam, premanisme,
kekerasan terhadap anak sekolah, pemerkosaan, dan konflik-konflik lain yang
semua berujung dengan kekerasan. Berbagai fenomena kekerasan tersebut
menunjukkan peran pemerintah semakin melemah dalam menciptakan harmoni
kehidupan berbangsa. Bahkan, dapat dinilai pemerintah tidak seolah memiliki
kemauan politik untuk mengatasi masalah mendasar sebab-sebab timbulnya
kekerasan. Itu dapat dilihat dari semakin intensnya kekerasan yang semakin
meningkat dan menyebar ke seluruh penjuru Tanah Air. Apa yang dikhawatirkan
adalah kekerasan semakin membudaya dan dijadikan sebagai contoh satu-satunya
pemecahan masalah yang efektif. Kondisi ini tentu saja amat berbahaya ketika
masyarakat menilai hanya dengan cara kekerasan masalah bisa diatasi. Masyarakat
menilai saluran hukum sudah tidak bisa lagi dipercaya menjadi jembatan untuk
mencari keadilan. Hukum tak lagi memiliki kekuatan untuk menciptakan keadilan
dan kemakmuran masyarakat. Hukum dipercaya berpihak hanya kepada mereka yang
memiliki kekuasaan dan mereka yang memiliki harta berlimpah. Hukum bisa dibeli
dan diintervensi. Pasal-pasalnya mudah dibengkokkan untuk memihak. Keadilan
digadaikan untuk kepentingan pribadi. Pemilik keadilan dalam hukum adalah
gerombolan mafia.
Jalan Pintas Kekerasan
Dari
itu semua, kekerasan menjadi jalan pintas yang efektif dipilih guna memecahkan
masalah yang ada. Saluran komunikasi untuk mendapatkan keadilan sudah dikuasai
mafioso. Budaya kekerasan pun berkembang semakin meluas, baik dalam kehidupan
publik maupun privat. Akibatnya, rasa aman menjadi barang langka di Nusantara
ini. Segala kehidupan kita begitu dekat dengan aroma kekerasan. Kekerasan dalam
berbagai bentuk, menjadi motif sebagian perilaku budaya masyarakat hingga kini
merupakan mainstream yang mereduksi tata nila kepribadian dan memberikan kesan
betapa iklim solidaritas manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian
saling mencintai. Dalam konteks agama, walaupun wacana pluralisme dan toleransi
ini sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, praktiknya tidaklah
semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran
bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan
bersama, pandangan atas “agamaku” dan “keyakinanku” justru sering menjadi dasar
dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan. Sekalipun kita
menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak
seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan dan
kemasyarakatan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya
solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Menghargai Perbedaan
Walau
sudah sering dinyatakan kita merupakan bangsa yang sangat menghargai perbedaan
dan tidak menggunakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah, itu semua di
lapangan kerap hanyalah sebuah kebohongan. Begitu mudahnya menistakan perbedaan
dengan cara membakar tempat suci ibadah agama tertentu dan menghakimi keyakinan
lain sebagai sesat. Akar masalah semua ini adalah kebencian. Kebencian inilah
awal mula sektarianisme. Kita tidak mengakui adanya sektarianisme di negeri Pancasila
ini. Tetapi, kenyataan di lapangan justru semangat sektarianisme dan kebencian
itulah yang selalu hidup dan mengobarkan aroma kekerasan. Dalam pendidikan,
penyebaran nilai-nilai kebencian ini begitu mudah ditemukan. Anak didik secara
tidak sadar diajarkan untuk abai terhadap perbedaan. Potensi kebencian pun
semakin membesar dan akan meledak saat mendapatkan pemicunya. Mengamati
berbagai kekerasan yang terjadi di Tanah Air, beragam kegundahan pun muncul.
Kita bertanya mengapa bangsa ini begitu mudah kehilangan kesantunan, keramahan,
dan penghargaan terhadap perbedaan. Mengapa sebagai anak bangsa kita mudah
marah, tersinggung, merusak milik orang lain, membunuh, dan membakar? Mengapa
perilaku kekerasan begitu cepat menjadi model dalam menyelesaikan segala
masalah di negeri ini?
Hal
mendasar yang bisa ditanyakan dalam hal ini adalah apakah kekerasan itu
merupakan wujud pendangkalan dalam memahami dan mengaktualisasikan ajaran
agama. Disebut pendangkalan, sebab tidak ada nilai agama mana pun yang
mengajarkan kekerasan. Setiap agama mengajarkan hidup damai. Namun, kata
“damai” mudah diucapkan, tapi begitu sulit diterapkan. Para tokoh agama kembali
perlu mengingatkan, semua agama mengajarkan cinta kasih antarsesama manusia.
Untuk itu, semua umat beragama menolak berbagai bentuk kekerasan apa pun
alasannya. Tokoh agama perlu menegaskan, sebagai sesama manusia warga sebangsa
untuk senantiasa menggunakan spirit persaudaraan dan kekeluargaan dalam bentuk
dialog dari hati ke hati ketika menyelesaikan berbagai permasalahan. Hal yang
terpenting, para tokoh agama perlu mengajak setiap umatnya untuk tidak mudah
terprovokasi informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam menyikapi
kehidupan sosial masyarakat. Seluruh umat beragama di Indonesia hendaknya
senantiasa menjaga kerukunan dan keharmonisan dalam kemajemukan. Jadi, bangsa
Indonesia dapat menjadi teladan bagi bangsa lain.
Selain
itu, pemerintah dan aparat keamanan agar cepat tanggap dan cermat dalam membaca
situasi. Itu karena konflik yang terjadi secara berulang merupakan wujud lemah
dan lambannya pemerintah dan aparat keamanan membaca situasi dan kondisi serta
dinamika yang berkembang. Pemerintah dan aparat keamanan wajib melindungi
segenap warga negara dan memberi rasa aman sebagai perwujudan hak asasi setiap
warga negara. Pembangunan karakter bangsa adalah upaya cita-cita bersama untuk
mewujudkan kemanusiaan dan keadilan sebagai alat pemersatu kebangsaan. Kondisi
kesenjangan ekonomi, faktor kebijakan, peran dominan mayoritas yang tidak
menghargai minoritas, serta pelecehan terhadap martabat kemanusiaan dan
keadilan membuat manusia mudah frustrasi. Rasa frustrasi akut tersebut akan
membawa bencana bagi negeri ini karena tiadanya harapan akan masa depan.
Benny
Susetyo ; Pemerhati Sosial
Sumber : SINAR HARAPAN, 17 Mei 2014