twitter


BAB I
PENDAHULUAN
1.      ABSTRAK
Makalah ini menyajikan dua hasil penelitian lapangan, yaitu di masyarakat Tuban dan di Parahyangan (pemukiman masyarakat Sunda). Dua wilayah penelitian diarahkan pada dua sisi masyarakat yang berbeda secara geografis, yang satu masyarakat perajin batik Tuban yang terletak di pesisir utara, sedangkan yang satu lagi kelompok masyarakat Parahyangan di Garut yang terletak di daerah pegunungan. Hasil penelitian ini akan menjadi salah satu kajian yang memberikan gambaran umum tentang beberapa karakteristik karya seni kriya batik dengan latar budayanya yang terdapat pada dua kelompok masyarakat perajin batik di pesisir (Tuban) dan di pegunungan (Garut).

2.      RUMUSAN MASALAH
Masalah pertama yang seringkali muncul mengawali perbincangan tentang seni kriya batik ialah:
1.    Apakah batik perlu dilestarikan?
2.    Bagaimanakah cara melestarikannya?
3.    Bagaimanakah pengaruh budaya asing terhadap perkembangan batik kita, dan sebaliknya, bagaimana pula peranan batik kita dalam perkembangan dunia global?
4.    Berapa banyak kekayaan seni kriya batik Nusantara yang kita miliki?
5.    Seberapa banyak dari kekayaan batik klasik Nusantara yang sudah hilang?

3.      TUJUAN PENULISAN
1.    Mengkaji apakah batik itu perlu dilestarikan.
2.    Mengetahui bagaimana melestarikan batik.
3.    Mengetahui bagaimana pengruh budaya asing terhadap perkembangan batik kita, dan sebaliknya, serta mengetahui pula peranan batik kita dalam perkembangan dunia global.
4.    Mengetahui berapa banyak kekayaan seni kriya batik klasik nusantara yang kita miliki
5.    Mengetahui seberapa bnyak dari kekayaan batik klasik nusantara yang sudah hilang. 

BAB II
PEMBAHASAN
Kelima masalah di atas bukan suatu masalah baru. Setiap orang pasti telah memiliki jawabannya. Pertanyaan pertama tentu akan dijawab “perlu dilestarikan”, dengan berbagai alasan yang sangat meyakinkan. Salah satu alasan kuat yaitu bahwa kriya batik memiliki nilai tradisi budaya Nusantara yang sangat berharga. Kriya batik telah mampu mengangkat derajat budaya bangsa kita ke arena persaingan dunia tekstil di mancanegara, karena kualitas estetik dan teknis, serta berbagai keunikannya. Namun sampai kini banyak orang yang belum memahami cara-cara melestarikannya.  Revitalisasi seni kriya batik  mungkinmerupakan salah satu upaya pelestarian yang bisa dilakukan. Sebagai pilihan kemungkinan dalam  upaya revitalisasai batik tersebut di antaranya:
a.    Pelatihan pembatikan tradisional, proses dengan lilin perintang.
b.    Dokumentasi ragam hias seni bati, pergeseran dan perubahannya.
c.    Tatalaksana atau manajemen usaha pembatikan tradisional studio seni.
d.   Teknologi proses rintang lilin dalam warna pembatikan termasuk ‘Soga Genes’.
e.    Perkembangan desain batik dan sosiologi seni batik, pendekatan kontemporer.
f.     Perlindungan hukum (HAKI) tehadap hak cipta batik klasik maupun yang modern.
g.    Perlindungan terhadap lingkungan perajin-seniman baik termasuk lingkungan sosial dan studionya.
h.    Penulisan buku seni kriya batik yang beragam dan lengkap oleh penulis-penulis Indonesia sendiri.

1.      Perkembangan Seni Kriya Batik
Dari masa ke masa, dalam kurun waktu satu abad terakhir, seni batik selalu berkembang dalam keragaman yang artistik. Dalam perkembangannya terdapat perubahan yang sangat berharga untuk dihayati dan dikaji.
Banyak penulis, baik dari Indonesia maupun mancanegara, yang membahas benturan dan pergeseran budaya seputar seni kriya batik. Problematikanya sangat menarik dan unik, terutama yang terdapat di Pulau Jawa. Hal ini tidak terdapat pada kelompok masyarakay lain di dunia, hanya terdapat di Indonesia.
Pergeseran dan tumpang tindih budaya batik antara lain dituangkan oleh Drs. H. Hasanudin, M.Sn., dalam tesisnya “Pengaruh Etos Dagang Santri pada Batik Pesisiran” (Pascasarjana ITB, 1996) antara lain menggarisbawahi bahwa:
Dalam proses perkembangan antara batik Belanda, batik China, batik Wong Kaji, batik Wong Cilik dan Batik Klasik saling mempengaruhi dan  melengkapi pada susunan corak, ragam hias, dan warna.
Jika mengkaji budaya batik dari  segi simbolisasi, dapat dilakukan dari 4 (empat) pendekatan:
a.    Simbolisasi warna (pendekatan estetika warna dan teknologi).
b.    Simbolisasi ragam hias (pattern) termasuk mitor-mitosnya (pendekatan adat mitos dan lattar foilosofinya).
c.    Simbolisasi dari bahan kainnya (pendekatan teknologi kenyamanan dan estetika bahan kain).
d.   Simbolisasi pemakaian kain batik (pendekatan sosiologi antropologi kekuasaan dan adat).
Pendekatan kekuasaan bukan merupakan cara pendekatan yang baru, karena seorang antropolog Amerika, Mattiebelle Gittinger (1979) menulis tentang tekstil Indonesia dengan judul “Splendid Symbols”. Seni kriya batik selin sebagai benda seni, mengandung pula manik-manik simbol atau perlambangan. Joseph Fischer, seorang kurator seni, mengantar pameran tektil Indonesia pada tahun 1978, melalui buku indah yang ditulisnya berjudul “Threads of Tradition”. Pamerannya diselenggarakan di kota Berkeley, University Art Museum, Amerika Serikat. Khasanah seni batik Indonesia, dikumpulkan dalam tiga buku oleh kolektor seni tekstil tradisional H. Nian Djoemena (1985). M. Hitchkock (1991) dan Pepin Van Roojen (1993) menulis buku tentang tekstil dan seni batik Indonesia, dua buku yang berharga untuk dikaji.
Seni batik menjadi sangat penting dalam kehidupan, karena kain batik telah terjalin erat ke dalam lingkaran budaya hidup masyarakat. Sejak lahir, menjalani hidup di dunia hingga meninggal dunia “dibungkus” dengan kain batik. Batik sangat dekat dengan kehidupan, khususnya dalam lingkungan keluarga. Dalam keluarga yang berperan adalah ibu. Oleh karena itu kriya batik merupakan “seni kriya kewanitaan”.  Proses pembatikan, sejak dikemplong, ditulis hingga dilorod, dan diperdagangkan di pasar, hampir seluruhnya dikerjakan kaum wanita.
Selain unsur simbolis yang pekat pada seni batik, unsur yang kuat lainnya adalah proses pengerjaannya yang rumit. Prosesnya memerlukan ketelitian dan penguasaan teknologi bahan dan proses.  Untuk memahami proses seni kriya batik tradisional di Indonesia, berikut ini dituliskan hasil penelitian lapangan tentang seni kriya batik di Tuban (Jawa Tengah) dan Garut (Sunda, Jawa Barat).
2.      Batik Tulis Tenun Gedog Tuban
Tuban merupakan salah satu kabupaten di pantai utara Jawa Timur yang mayoritas penduduknya nelayan dan petani. Selain mempunyai potensi yang strategis sebagai salah satu kota pemasok ikan asin dan terasi, Tuban berpotensi juga sebagai daerah wisata. Salah satu potensi wisatanya adalah Makam Sunan Giri. Sunan Giri ialah salah satu sunan dari sembilan wali penyebar Agama Islam di Pulau Jawa. Pada masyarakat Tuban berkembang pula mitologi Rangga Lawe, seorang panglima perang yang gagah berani, yang menjadi kebanggaan  masyarakat Tuban. Bangunan yang juga terkenal yaitu kelenteng yang konon merupakan satu-satunya kelenteng di Asia yang menghadap ke laut. Di antara potensi budaya yang patut dibanggakan itu, Tuban juga dikenal dengan kerajinan batik tulis tenun gedog.

Salah satu desa di Tuban sebagai penghasil batik tulis tenun gedog ialah Desa Margorejo. Desa ini berjarak 28 km ke arah barat daya kota Tuban yang berpenduduk 3.750 orang atau 917 kepala keluarga (data tahun 1995). Bagi masyarakat Margorejo, membatik merupakan kegiatan sambilan (waktu luang) yang menghidupinya, di samping bertani sebagai lahan penghidupan utamanya. Selain Desa Margorejo di wilayah Kecamatan Kerek, juga terdapat desa-desa lain sebagai penghasil batik tenun gedog yaitu desa Gaji, Desa Kedungrejo, dan Desa Karanglo.
Istilah batik tenun ‘gedog’, jika ditelusuri asal katanya, konon seperti yang dipercayai sebagai besar masyarakat Margorejo, ‘gedog’ berasal dari suara yang dikeluarkan oleh pemintal dan penenun, ‘gedog…gedog…gedog…’ Motif-motif batik yang terdapat dalam batik tenun gedog adalah motif-motif yang tipikal  pesisir. Misalnya motif bunga laut dengan berbagai variasinya, motif binatang. Sangat wajar jika dalam batik tenun Tuban ini bermuncukan motif  dengan dasar desain bunga laut, sebab masyarakat Tuban sangat akbrab dengan kehidupan bahari.  Keakrabannya dengan flora dan fauna laut tergambarkan melalui imaji-imajinya dalam berbagai hiasan motif batik tenun gedog. Motif-motif lainnya sebagai pelengkap (hiasan) yaitu motif guntingan, kapsaan, campursari, kembang waluh, ganggeng, dan titik (baris).
Kekhasan tenun gedog adalah bahannya yang agak kasar dan warnanya cenderung putih kumal. Bintik-bintik kapas dari proses pemintalan yang tradisional telah menghasilkan tekstur yang khas tenun gedog dengan alat pemintal yang tradisional yaitu gedogan.
Untuk menjadi tenun gedog, terdapat beberapa proses kerja sebagai berikut.
Proses Pertama (memintal serat kapas).
Proses dari buah kapas menjadi benang lawe meliputi beberapa langkah pengerjaan, yaitu:
1.    Persiapan bahan baku kapas.
2.    Menghilangkan biji kapas (kapas dibibis).
3.    Usoni ialah menguraikan (disentangle) serat kapas agar mudah dipintal.
4.    Menggulung (roll) untuk kemudian dibuat bulatan.
5.    Diantih (spin) dengan menggunakan jontro (alat pemintal, spinning wheel).
6.    Dilikasi dengan alat likasan.
7.    Distreng/ukel jadi benang lawe.
Proses Kedua (tenun gedogan).
Proses pembuatan kain lawon putihan:
1.    Benang lawe (lawe yarn).
2.    Benang direbus untuk menghilangkan lemak.
3.    Penjemuran benang hingga kering.
4.    Benang dikanji (starchel) dengan nasi jagung atau tepung kanji.
5.    Disikati dengan serbut kelapa.
6.    Penjemuran bennag hingga kering.
7.    Benang diulur (extended) dengan alat ringan.
8.    Dihani untuk menentukan panjang dan lebar kain.
9.    Memasukan benang dalam sisir.
10.              Ditenun menjadi kain lawon putih.
Proses Ketiga (membatik lawon).
Proses cipta batik tulis tenun gedog.
1.    Kain lawon  hasil tenun gedogan.
2.    Diputihkan: dicuci dengan campuran thepol.
3.    Dijemur hingga kering.
4.    Dilengkreng atau dipola.
5.    Dilengkapi isen-isen.
6.    Ditembok dengan lilin malam.
7.    Dicelup warna dasar.
8.    Diangin-angin hingga kering.
9.    Isen-isen (digambar dengan canitng).
10.    Pencelupan dengan warna yang dikehendaki.
11.    Diangin-anginkan hingga kering.
12.    Akhirnya menjadi kain batik tenun gedog.
Pentahapan proses tersebut di atas merupakan tahapan yang umum yang selalu dilalui oleh setiap perajin batik tulis di Tuban dan justru pada proses seperti itulah  kekhasan batik tulis tenun gedog.
Sementara itu, tahapan dan waktu proses produksi sebuah batik tulis tenun gedog secara sederhana dapat disusun sebagai berikut:
1.    Tahap awal pekerjaan pemintalan untuk satu potong kain lawon dengan ukuran 90 x 250 cm memerlukan waktu sekitar 7 – 9 hari dengan kebutuhan benang lawe  sebanyak 5 ukel.
2.    Tahap kedua pekerjaan menenun. Untuk menghasilkan satu potong lawon ukuran 90 x 250 cm memerlukan waktu hingga 5 hari kerja.
3.    Tahap ketiga pekerjaan membatik. Untuk menyelesaikan satu potong kain batiik ukuran 90 x 250 cm memebutuhkan waktu 3 – 4 hari.
Jadi untuk menyelesaikan  satu potong kain batik tulis tenun gedog khas Tuban ini memerlukan waktu kurang lebih 14 – 18 hari kerja.

3.      Seni Kriya Batik Sunda
a.      Latar Belakang Budaya Busana Sunda
yang Menjadi Ungkapan Warna dan Motif pada Seni Batik
Mengenai adat-istiadat suku bangsa Sunda sudah pernah diuraikan oleh beberapa orang budayawan seperti haji Hasan Moestapa, Dr. K.A.H. Hidding (1935) dengan bantuan Muhammad Ambri dan Raden Setjadibrata, kemudian oleh Akib Prawirasuganda (1951). Karya Haji Hasan Mustapa diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Raden Memed Sastrahadiprawira, tidak sampai selesai karena beliau meninggal dunia, kemudian  naskah terjemahannya diselesaiikan oleh R.A. Kern.
Di Jawa Tengah seperti Yogyakarta dan Solo terdapat pusat preservasi adat Jawa yaitu sekitar keraton, yang tidak hanya berfungsi secara fisik, melainkan berfungsi pula secara psikis, yaitu melindungi dan memelihara seluruh kekayaan  seni budaya Jawa. Berbeda dengan di Jawa Barat, tidak terdapat pusat preservasi adat-istiadat Sunda atau Priangan, sehingga adat-istiadat Sunda relatif lebih terbuka terhadap unsur-unsur modernisasi pergeseran dan perubahan. Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi. Singggungan dan bentturan terhadap pengaruh kebudayaan luar mengakibatkan antara lain suku Sunda cenderung lebih banyak menggunakan logikanya. Sementara itu cara—cara berrpikir tradisional yang banyak mengandung unsur religius-magis sedikit demi sedikit terkikis.
Gambaran tentang unsur-unsur adat itu terpantul pada bentuk-bentuk kesenian Sunda seperti seni sastra, tembang kecapi suling, tari, wayang golek, sandiwara, batik tulis serta tata-cara berpakaian. Lakon wayang umpamanya, tidak lagi utuh dipertunjukkan di depan umum sebagaimana asalnya, melainkan telah mendapat improvisasi Ki Dalang sesuai dengan masa dan masyarakat penikmatnya. Demikian juga dengan bentuk –bentuk seni lainnya telah mendapat pengembangan daya cipta berdasarkan  imajinasi para seniannya tanpa beranjak dari akarnya sendiri. Penampilannya disesuaikan dengan lingkungan kondisi masyarakat penerimanya serta zamannya.
b.      Warna Kasundaan: Kaya Nuansa
Ungkapan warna yang memantulkan keindahan alam Priangan serta kesenian dann kebudayaan tersirat dalam seni tembang dan sajak pupuh Sunda. Satu contoh dari Celempungan atau Gamelan dari Juru Kawih H. Idjah Hadidjah, produksi Jugala tahun 1981 bandung, judul Kuwung-kuwung.
Kuwung-kuwung nu melengkung
Cahyana lir emas pinanggih
Katingalna warna-warna
……………………………………
Cahya gilang gumilang
Henteu bosen nu ningali
……………………………………
Lenglang taya aling-aling
Lenglang taya aling-laing
……………………………………
Warna paul anu lucu
Hejona pon kitu deui
Beureum koneng cahyana lir
Emas anyar di sanggih
Lamun dicipta kurasa
Matak katarik birahi
……………………………………
Cahaya sa bumi alam
Ting gurilap cahyana
……………………………………
Numutkeun ku saur sepuh
Wangsitna seuweu siwi
Baheula dumugi ka kiwari
Yen aya sasakala
Pelukisan bianglala seputar alam, dengan pemandangan warna yang sulit dilukiskan karena penuh aneka warna yang gemerlapan. Apabila diciptakan melalui rasa berahipun akan tertarik yaitu cinta terhadap alam Maha Pencipta.
Cahayanya seputar alam: warna –warna kuning keemasan, paul atau ungu, hejo atau hijau, beureum  atau merah, koneng atau kuning kejinggaan. Digambarkan kemudian, pada waktu warna-warna itu hadir memenuhi ruang langit, lengkung taya aling—aling atau terhampar luas tanpa ada yang menghalanginya. Secara ilmiah apabila yang menjadi dasar susunan warna alam Priangan. Jadi hamppir tidak terdapat warna yang kegelapan, suram atau kumal.
Dalam pantun Sinyur terdapat pelukisan warna dari benda sehari-hari:
Lawon sepre gandaria
Nu kayas kantun sakodi
teu malire nu satia
bet luas ngantunkeun abdi
Warna kayas atau merah ros atau merah muda, gandaria atau violet muda atau ungu muda, warna paul atau biru dan warna hejo paul atau kebiruan lebih sering disebut-sebut dalam kawih atau pantun. Hal itu menandakan kesukaan masyarakat Sunda akan nada-nada warna itu (nuansa lembut).
Apabila disusun dalam satu palet warna, maka terdapat dua warna dasar yang mendukung terciptanya nada warna itu. Kedua warna dasar itu ialah biru yang ultramarine dicampur dengan merah yang karmen, tetapi dilengkapi satu sumbu yaitu ke arah putih,, sehingga terjadilah warna: kayas dan gandaria dengan warna ungu di tepinya yang biasa disebut gandola. terjadilah susunan nada warna yang bersifat analog (A.Munsell, color notation, 1898) sebagai berikut:
            Kayas
            Kasumba
            Gandaria
            Gandola
            Paul
Nada warna warna kayas tergolong yang paling muda atau lembut, sedangkan warna paul tergolong nada warna yang tua atau berat.  Kayas, Kasumba, dan Gandaria sering terungkapkan dalam berbagai sajak atau seni pantun tembang Sunda yang sifatnya melankolik. Irama melankolik itu telah menjadi ciri ungkapan sebagai kesenian Sunda, terutama seni tembangnya yang dikenal dengan kecapi suling. Dari susunan nada yang lembut melankolik itu kiranya tidak akan timbul susunan warna yang keras atau berat melainkan cenderung ke arah nada warna lembut penuh dengan khayal.
c.       Pola  Hias 
Selain nada warna yang terang dan lembut, masyarakat Sunda menyenangi pula berbagai ragam hias untukmengimbangi kemeriahan susunan warnanya. Kidung Sunda yang diterbitkan pada tahun 1928 oleh Bale Poestaka di Weltevreden, Batavia, melukiskan bagaimana para bangsawan Sunda berpakaian, yang disusun dalam kinanti sebagai berikut:
Anggoanana aralus
Matak serab nu ningali
Sang Nalendra kahuripan
Ngagem Kaprabon lineuwih,
Dodotna buatan sebrang,
Dikembang parada rukmi
Beulitan giningsing kawung,
Surup lamun ditingali
Duhungna kadipatian
Landean duhung mas adi
Ditabur mirah dalima,
Sarta mutiara manik
Cahya permata harurung
Tinggal ebyar adu manis
Lir cika-cika maruntang,
Sanggul geyot cara keling,
Dicangklek kancana mubyar
Ditarapang inten rukmi
Direka garuda mungkur
Payus lamun ditingali
Disusumping kembang bodas
Mencenges di kanan keri
Kilat bahu atmaraksa,
Wuwuh surup Sang Narpati.
Sang Prabu Daha kacatur,
Salira tegep rasppati,,
Nganggo dodot sutra kembang
Diparada warna sari,
Sinjang kayas ti Banyumas
Wuwuh sigit ditingali.
Kata-kata yang digarisbawahi ialah istilah-istilah  yang mengandung pengertian ragam hias. sebagian kata-kata ragam hias itu menjadi nama dari ragam hias batik tulis yang dibanggakan oleh masyarakat pemakainya, seperti dodot, giringsing kawung, para, garuda mungkur,, dan kembang bodas.

d.      Susunan Warna Kasundaan menurut Nuansa Warna
1)   Nada warna ke arah merah atau kemerahan dan kuning:
beureum
beureum cabe
beureum ati
kasumba
kayas
gedang asak
gading
koneng
koneng enay
2)   Nada warna ke arah biru atau kebiruan dan hijau:
hejo
hejo lukut
hejo ngagedod
hejo paul
paul
gandaria
gandola
bulao saheab
pulas haseup
bula 
3)   Nada warna yang tidak termasuk ke dalam dua kelompok terdahulu:    
bodas
hideung
borontok
coklat kopi atau pulas kopi, kopi tutung
candra mawat
bulu hiris
bulu oadawuk, hawuk, kulawu, pulas lebu
(oa adalah sebangsa primata / monyet berbulu warna abu-abu)
BAB III
PENUTUP

1. Untuk mengakhiri tulisan yang memerlukan kajian dan analisis yang lebih dalam ini, penulis mencatatkan beberapa pertanyaan, yang mungkin bisa dijawab melalui penelitian selanjutna.
-          Apakah seni kriya batik bisa hidup bertahan untuk 5 sampai 10 tahun lagi dengan berbagai kondisi budaya dan perubahan lingkungannya?
-          Apakah mungkin dapat dikembangkan desain dan seni kriya batik dalam lingkungan kerja seni yang tidak mendapat perlindungan hukum? Perlindungan tersebut mencakup hak cipta, perlindungan terhadap alam lingkungan hidup perajin, perlindungan kemudahan untuk mendapatkan bahan mentah, perlindungan untuk mendapatkan laba/nilai lebih secara ekonomis yang adil serta perlindungan terhadap kebebasan berkreasi seni?
2. Seni kriya batik dalam keseluruhan penggarapan seni, menjadi satu dengan unsur-unsur seperti lingkungan hidup, persediaan bahan mentah, kesempatan pemasaran, kreativitas, dan latar budaya etnik.
3. Penggarapan seni kriya batik di Indonesia lebih bersifat komunal daripada individual, kekayaan tradisi artistik masih melekat di setiap lingkungan kerja seni kriya batik yang tersebar dari pesisiran sampai ke puri dan keraton.
4. Penggarapan seni kriya secara individual dikerjakan oleh seniman/desainer lulusan akademi yang jumlahnya tidak banyak, karena di Indonesia hanya terdapat lima perguruan tinggi seni rupa dan desain. Jurusan kriya, termasuk batik,  hanya terdapat di dua perguruan tinggi.r
5. Dalam waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi kerja sama antara perajin desa yang tradisional dengan seniman/desainer akademis, hasilnya tercipta desain-desain baru yang memberikan harapan untuk terus dikembangkan.
6. Dari pengalaman bergaul dengan pengudaha/perajin di pedesaan, terdapat banyak tetua perajin batik yang ahli tidak menginginkan lagi anaknya untuk berusaha di bidang kerajinan, karena pekerjaan itu tidak memberikan atau menjanjikan harapan hidup di masa depan. dengan demikian keahlian sebagai perajin batik tidak dapat diturunkan  kepada sanak keluarganya, karena yang muda-muda lebih senang bekerja di kota. Kenyataan itu perlu dicegah dengan program pengembangan yang persuasif edukatif.
7. Keindustrian dalam seni kriya batik tidak hanya mengandung suatu proses kerja teknologi seni kriya,, melainkan melibatkan unsur-unsur sosiologi, budaya lokal, adat-istiadat yang tekah melekat. semuanya pada saat ini menjelang abad 21, berbenturan dengan arus budaya baru, teknologi media informasi yang tidak sedikit menyebabkan masyarakat penguasa dan pekerja seni kriya yang tradisional menjadi kebingungan serta terseret ke pinggiran.

DAFTAR PUSTAKA
Affendi, Yusuf, Prof.2003.Globalisasi dan KebudayaanInstitut Teknologi Bandung: Bandung

            http://ndorokakung.wordpress.com/batik_ditengah_arus _globalisasi.html

0 komentar:

Posting Komentar