BAB I
PENDAHULUAN
1.
ABSTRAK
Makalah ini menyajikan dua hasil
penelitian lapangan, yaitu di masyarakat Tuban dan di Parahyangan (pemukiman
masyarakat Sunda). Dua wilayah penelitian diarahkan pada dua sisi masyarakat
yang berbeda secara geografis, yang satu masyarakat perajin batik Tuban yang
terletak di pesisir utara, sedangkan yang satu lagi kelompok masyarakat
Parahyangan di Garut yang terletak di daerah pegunungan. Hasil penelitian ini
akan menjadi salah satu kajian yang memberikan gambaran umum tentang beberapa
karakteristik karya seni kriya batik dengan latar budayanya yang terdapat pada
dua kelompok masyarakat perajin batik di pesisir (Tuban) dan di pegunungan
(Garut).
2.
RUMUSAN MASALAH
Masalah pertama yang seringkali
muncul mengawali perbincangan tentang seni kriya batik ialah:
1.
Apakah batik
perlu dilestarikan?
2.
Bagaimanakah
cara melestarikannya?
3.
Bagaimanakah
pengaruh budaya asing terhadap perkembangan batik kita, dan sebaliknya,
bagaimana pula peranan batik kita dalam perkembangan dunia global?
4.
Berapa
banyak kekayaan seni kriya batik Nusantara yang kita miliki?
5.
Seberapa
banyak dari kekayaan batik klasik Nusantara yang sudah hilang?
3. TUJUAN PENULISAN
1.
Mengkaji apakah
batik itu perlu dilestarikan.
2.
Mengetahui
bagaimana melestarikan batik.
3.
Mengetahui
bagaimana pengruh budaya asing terhadap perkembangan batik kita, dan
sebaliknya, serta mengetahui pula peranan batik kita dalam perkembangan dunia
global.
4.
Mengetahui
berapa banyak kekayaan seni kriya batik klasik nusantara yang kita miliki
5.
Mengetahui
seberapa bnyak dari kekayaan batik klasik nusantara yang sudah hilang.
BAB II
PEMBAHASAN
Kelima masalah
di atas bukan suatu masalah baru. Setiap orang pasti telah memiliki jawabannya. Pertanyaan pertama tentu akan
dijawab “perlu dilestarikan”, dengan berbagai alasan yang sangat meyakinkan.
Salah satu alasan kuat yaitu bahwa kriya batik memiliki nilai tradisi budaya
Nusantara yang sangat berharga. Kriya batik telah mampu mengangkat derajat budaya
bangsa kita ke arena persaingan dunia tekstil di mancanegara, karena kualitas
estetik dan teknis, serta berbagai keunikannya. Namun sampai kini banyak orang
yang belum memahami cara-cara melestarikannya. Revitalisasi seni kriya
batik mungkinmerupakan salah satu upaya pelestarian yang bisa dilakukan.
Sebagai pilihan kemungkinan dalam upaya revitalisasai batik tersebut di
antaranya:
a.
Pelatihan
pembatikan tradisional, proses dengan lilin perintang.
b.
Dokumentasi
ragam hias seni bati, pergeseran dan perubahannya.
c.
Tatalaksana
atau manajemen usaha pembatikan tradisional studio seni.
d.
Teknologi
proses rintang lilin dalam warna pembatikan termasuk ‘Soga Genes’.
e.
Perkembangan
desain batik dan sosiologi seni batik, pendekatan kontemporer.
f.
Perlindungan
hukum (HAKI) tehadap hak cipta batik klasik maupun yang modern.
g.
Perlindungan
terhadap lingkungan perajin-seniman baik termasuk lingkungan sosial dan
studionya.
h.
Penulisan
buku seni kriya batik yang beragam dan lengkap oleh penulis-penulis Indonesia
sendiri.
1.
Perkembangan
Seni Kriya Batik
Dari masa ke
masa, dalam kurun waktu satu abad terakhir, seni batik selalu berkembang dalam
keragaman yang artistik. Dalam perkembangannya terdapat perubahan yang sangat
berharga untuk dihayati dan dikaji.
Banyak
penulis, baik dari Indonesia maupun mancanegara, yang membahas
benturan dan pergeseran budaya seputar seni kriya batik. Problematikanya sangat
menarik dan unik, terutama yang terdapat di Pulau Jawa. Hal ini tidak terdapat
pada kelompok masyarakay lain di dunia, hanya terdapat di Indonesia.
Pergeseran dan tumpang tindih
budaya batik antara lain dituangkan oleh Drs. H. Hasanudin, M.Sn., dalam
tesisnya “Pengaruh Etos Dagang Santri pada Batik Pesisiran” (Pascasarjana ITB,
1996) antara lain menggarisbawahi bahwa:
Dalam proses perkembangan
antara batik Belanda, batik China, batik Wong Kaji, batik Wong Cilik dan
Batik Klasik saling mempengaruhi dan melengkapi pada susunan corak, ragam
hias, dan warna.
Jika mengkaji budaya batik
dari segi simbolisasi, dapat dilakukan dari 4 (empat) pendekatan:
a.
Simbolisasi
warna (pendekatan estetika warna dan teknologi).
b.
Simbolisasi
ragam hias (pattern) termasuk mitor-mitosnya (pendekatan adat mitos dan lattar
foilosofinya).
c.
Simbolisasi
dari bahan kainnya (pendekatan teknologi kenyamanan dan estetika bahan kain).
d.
Simbolisasi
pemakaian kain batik (pendekatan sosiologi antropologi kekuasaan dan adat).
Pendekatan
kekuasaan bukan merupakan cara pendekatan yang baru, karena seorang antropolog
Amerika, Mattiebelle Gittinger (1979) menulis tentang tekstil Indonesia dengan
judul “Splendid Symbols”. Seni kriya batik selin sebagai benda seni, mengandung
pula manik-manik simbol atau perlambangan. Joseph Fischer, seorang kurator
seni, mengantar pameran tektil Indonesia pada tahun 1978, melalui
buku indah yang ditulisnya berjudul “Threads of Tradition”. Pamerannya
diselenggarakan di kota Berkeley, University Art Museum,
Amerika Serikat. Khasanah seni batik Indonesia, dikumpulkan dalam tiga
buku oleh kolektor seni tekstil tradisional H. Nian Djoemena (1985). M.
Hitchkock (1991) dan Pepin Van Roojen (1993) menulis buku tentang tekstil dan
seni batik Indonesia, dua buku yang berharga untuk dikaji.
Seni batik
menjadi sangat penting dalam kehidupan, karena kain batik telah terjalin erat
ke dalam lingkaran budaya hidup masyarakat. Sejak lahir, menjalani hidup di
dunia hingga meninggal dunia “dibungkus” dengan kain batik. Batik sangat dekat
dengan kehidupan, khususnya dalam lingkungan keluarga. Dalam keluarga yang
berperan adalah ibu. Oleh karena itu kriya batik merupakan “seni kriya
kewanitaan”. Proses pembatikan, sejak dikemplong, ditulis hingga dilorod,
dan diperdagangkan di pasar, hampir seluruhnya dikerjakan kaum wanita.
Selain unsur
simbolis yang pekat pada seni batik, unsur yang kuat lainnya adalah proses
pengerjaannya yang rumit. Prosesnya memerlukan ketelitian dan penguasaan
teknologi bahan dan proses. Untuk memahami proses seni kriya batik
tradisional di Indonesia, berikut ini dituliskan hasil penelitian lapangan
tentang seni kriya batik di Tuban (Jawa Tengah) dan Garut (Sunda, Jawa Barat).
2.
Batik Tulis
Tenun Gedog Tuban
Tuban
merupakan salah satu kabupaten di pantai utara Jawa Timur yang mayoritas
penduduknya nelayan dan petani. Selain mempunyai potensi yang strategis sebagai
salah satu kota pemasok ikan asin dan terasi, Tuban berpotensi juga
sebagai daerah wisata. Salah satu potensi wisatanya adalah Makam Sunan Giri.
Sunan Giri ialah salah satu sunan dari sembilan wali penyebar Agama Islam di
Pulau Jawa. Pada masyarakat Tuban berkembang pula mitologi Rangga Lawe, seorang
panglima perang yang gagah berani, yang menjadi kebanggaan masyarakat
Tuban. Bangunan yang juga terkenal yaitu kelenteng yang konon merupakan
satu-satunya kelenteng di Asia yang menghadap ke laut. Di antara
potensi budaya yang patut dibanggakan itu, Tuban juga dikenal dengan kerajinan
batik tulis tenun gedog.
Salah satu
desa di Tuban sebagai penghasil batik tulis tenun gedog ialah Desa Margorejo.
Desa ini berjarak 28 km ke arah barat daya kota Tuban yang
berpenduduk 3.750 orang atau 917 kepala keluarga (data tahun 1995). Bagi
masyarakat Margorejo, membatik merupakan kegiatan sambilan (waktu luang) yang
menghidupinya, di samping bertani sebagai lahan penghidupan utamanya. Selain
Desa Margorejo di wilayah Kecamatan Kerek, juga terdapat desa-desa lain sebagai
penghasil batik tenun gedog yaitu desa Gaji, Desa Kedungrejo, dan Desa
Karanglo.
Istilah
batik tenun ‘gedog’, jika ditelusuri asal katanya, konon seperti yang
dipercayai sebagai besar masyarakat Margorejo, ‘gedog’ berasal dari suara yang
dikeluarkan oleh pemintal dan penenun, ‘gedog…gedog…gedog…’ Motif-motif
batik yang terdapat dalam batik tenun gedog adalah motif-motif
yang tipikal pesisir. Misalnya motif bunga laut dengan berbagai
variasinya, motif binatang. Sangat wajar jika dalam batik tenun Tuban ini
bermuncukan motif dengan dasar desain bunga laut, sebab masyarakat Tuban
sangat akbrab dengan kehidupan bahari. Keakrabannya dengan flora dan
fauna laut tergambarkan melalui imaji-imajinya dalam berbagai hiasan motif
batik tenun gedog. Motif-motif lainnya sebagai pelengkap (hiasan) yaitu motif
guntingan, kapsaan, campursari, kembang waluh, ganggeng, dan titik (baris).
Kekhasan
tenun gedog adalah bahannya yang agak kasar dan warnanya cenderung putih kumal.
Bintik-bintik kapas dari proses pemintalan yang tradisional telah menghasilkan
tekstur yang khas tenun gedog dengan alat pemintal yang tradisional yaitu
gedogan.
Untuk menjadi tenun gedog,
terdapat beberapa proses kerja sebagai berikut.
Proses
Pertama (memintal serat kapas).
Proses dari buah kapas menjadi
benang lawe meliputi beberapa langkah pengerjaan, yaitu:
1.
Persiapan
bahan baku kapas.
2.
Menghilangkan
biji kapas (kapas dibibis).
3.
Usoni ialah
menguraikan (disentangle) serat kapas agar mudah dipintal.
4.
Menggulung (roll)
untuk kemudian dibuat bulatan.
5.
Diantih (spin) dengan
menggunakan jontro (alat pemintal, spinning wheel).
6.
Dilikasi
dengan alat likasan.
7.
Distreng/ukel
jadi benang lawe.
Proses Kedua
(tenun gedogan).
Proses pembuatan kain lawon
putihan:
1.
Benang lawe
(lawe yarn).
2.
Benang
direbus untuk menghilangkan lemak.
3.
Penjemuran
benang hingga kering.
4.
Benang
dikanji (starchel) dengan nasi jagung atau tepung kanji.
5.
Disikati
dengan serbut kelapa.
6.
Penjemuran
bennag hingga kering.
7.
Benang
diulur (extended) dengan alat ringan.
8.
Dihani untuk
menentukan panjang dan lebar kain.
9.
Memasukan
benang dalam sisir.
10.
Ditenun
menjadi kain lawon putih.
Proses
Ketiga (membatik lawon).
Proses cipta batik tulis tenun
gedog.
1.
Kain
lawon hasil tenun gedogan.
2.
Diputihkan:
dicuci dengan campuran thepol.
3.
Dijemur
hingga kering.
4.
Dilengkreng
atau dipola.
5.
Dilengkapi
isen-isen.
6.
Ditembok
dengan lilin malam.
7.
Dicelup
warna dasar.
8.
Diangin-angin
hingga kering.
9.
Isen-isen
(digambar dengan canitng).
10.
Pencelupan
dengan warna yang dikehendaki.
11.
Diangin-anginkan
hingga kering.
12.
Akhirnya
menjadi kain batik tenun gedog.
Pentahapan proses tersebut di
atas merupakan tahapan yang umum yang selalu dilalui oleh setiap perajin batik
tulis di Tuban dan justru pada proses seperti itulah kekhasan batik tulis
tenun gedog.
Sementara itu, tahapan dan
waktu proses produksi sebuah batik tulis tenun gedog secara sederhana dapat
disusun sebagai berikut:
1.
Tahap awal
pekerjaan pemintalan untuk satu potong kain lawon dengan ukuran 90 x 250 cm
memerlukan waktu sekitar 7 – 9 hari dengan kebutuhan benang lawe sebanyak
5 ukel.
2.
Tahap kedua
pekerjaan menenun. Untuk menghasilkan satu potong lawon ukuran 90 x 250 cm
memerlukan waktu hingga 5 hari kerja.
3.
Tahap ketiga
pekerjaan membatik. Untuk menyelesaikan satu potong kain batiik ukuran 90 x 250
cm memebutuhkan waktu 3 – 4 hari.
Jadi untuk menyelesaikan
satu potong kain batik tulis tenun gedog khas Tuban ini memerlukan waktu kurang lebih 14 – 18 hari kerja.
3.
Seni Kriya Batik Sunda
a. Latar
Belakang Budaya Busana Sunda
yang Menjadi Ungkapan Warna
dan Motif pada Seni Batik
Mengenai
adat-istiadat suku bangsa Sunda sudah pernah diuraikan oleh beberapa orang
budayawan seperti haji Hasan Moestapa, Dr. K.A.H. Hidding (1935) dengan bantuan
Muhammad Ambri dan Raden Setjadibrata, kemudian oleh Akib Prawirasuganda
(1951). Karya Haji Hasan Mustapa diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh
Raden Memed Sastrahadiprawira, tidak sampai selesai karena beliau meninggal
dunia, kemudian naskah terjemahannya diselesaiikan oleh R.A. Kern.
Di Jawa
Tengah seperti Yogyakarta dan Solo terdapat pusat preservasi adat
Jawa yaitu sekitar keraton, yang tidak hanya berfungsi secara fisik, melainkan
berfungsi pula secara psikis, yaitu melindungi dan memelihara seluruh
kekayaan seni budaya Jawa. Berbeda dengan di Jawa Barat, tidak terdapat
pusat preservasi adat-istiadat Sunda atau Priangan, sehingga adat-istiadat
Sunda relatif lebih terbuka terhadap unsur-unsur modernisasi pergeseran dan
perubahan. Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi. Singggungan dan bentturan
terhadap pengaruh kebudayaan luar mengakibatkan antara lain suku Sunda
cenderung lebih banyak menggunakan logikanya. Sementara itu cara—cara berrpikir
tradisional yang banyak mengandung unsur religius-magis sedikit demi sedikit
terkikis.
Gambaran
tentang unsur-unsur adat itu terpantul pada bentuk-bentuk kesenian Sunda
seperti seni sastra, tembang kecapi suling, tari, wayang golek, sandiwara,
batik tulis serta tata-cara berpakaian. Lakon wayang umpamanya, tidak lagi utuh
dipertunjukkan di depan umum sebagaimana asalnya, melainkan telah mendapat
improvisasi Ki Dalang sesuai dengan masa dan masyarakat penikmatnya. Demikian
juga dengan bentuk –bentuk seni lainnya telah mendapat pengembangan daya cipta
berdasarkan imajinasi para seniannya tanpa beranjak dari akarnya sendiri.
Penampilannya disesuaikan dengan lingkungan kondisi masyarakat penerimanya
serta zamannya.
b. Warna Kasundaan: Kaya Nuansa
Ungkapan
warna yang memantulkan keindahan alam Priangan serta kesenian dann kebudayaan
tersirat dalam seni tembang dan sajak pupuh Sunda. Satu contoh dari Celempungan atau
Gamelan dari Juru Kawih H. Idjah Hadidjah, produksi Jugala tahun 1981 bandung,
judul Kuwung-kuwung.
Kuwung-kuwung
nu melengkung
Cahyana lir
emas pinanggih
Katingalna
warna-warna
……………………………………
Cahya gilang
gumilang
Henteu bosen
nu ningali
……………………………………
Lenglang
taya aling-aling
Lenglang
taya aling-laing
……………………………………
Warna paul
anu lucu
Hejona pon
kitu deui
Beureum
koneng cahyana lir
Emas anyar
di sanggih
Lamun
dicipta kurasa
Matak
katarik birahi
……………………………………
Cahaya sa
bumi alam
Ting gurilap
cahyana
……………………………………
Numutkeun ku
saur sepuh
Wangsitna
seuweu siwi
Baheula
dumugi ka kiwari
Yen aya sasakala
Pelukisan
bianglala seputar alam, dengan pemandangan warna yang sulit dilukiskan karena
penuh aneka warna yang gemerlapan. Apabila diciptakan melalui rasa berahipun
akan tertarik yaitu cinta terhadap alam Maha Pencipta.
Cahayanya
seputar alam: warna –warna kuning keemasan, paul atau ungu, hejo atau
hijau, beureum atau merah, koneng atau
kuning kejinggaan. Digambarkan kemudian, pada waktu warna-warna itu hadir
memenuhi ruang langit, lengkung taya aling—aling atau terhampar luas tanpa ada
yang menghalanginya. Secara ilmiah apabila yang menjadi dasar susunan warna
alam Priangan. Jadi hamppir tidak terdapat warna yang kegelapan, suram atau
kumal.
Dalam pantun Sinyur terdapat
pelukisan warna dari benda sehari-hari:
Lawon sepre
gandaria
Nu kayas
kantun sakodi
teu malire
nu satia
bet luas
ngantunkeun abdi
Warna kayas atau
merah ros atau merah muda, gandaria atau violet muda atau ungu
muda, warna paul atau biru dan warna hejo paul atau
kebiruan lebih sering disebut-sebut dalam kawih atau pantun. Hal itu menandakan
kesukaan masyarakat Sunda akan nada-nada warna itu (nuansa lembut).
Apabila
disusun dalam satu palet warna, maka terdapat dua warna dasar yang mendukung
terciptanya nada warna itu. Kedua warna dasar itu ialah biru yang ultramarine dicampur
dengan merah yang karmen, tetapi dilengkapi satu sumbu yaitu ke arah putih,,
sehingga terjadilah warna: kayas dan gandaria dengan warna ungu di tepinya yang
biasa disebut gandola. terjadilah susunan nada warna yang bersifat analog
(A.Munsell, color notation, 1898) sebagai berikut:
Kayas
Kasumba
Gandaria
Gandola
Paul
Nada warna warna kayas tergolong
yang paling muda atau lembut, sedangkan warna paul tergolong nada warna yang
tua atau berat. Kayas, Kasumba, dan Gandaria sering
terungkapkan dalam berbagai sajak atau seni pantun tembang Sunda yang sifatnya
melankolik. Irama melankolik itu telah menjadi ciri ungkapan sebagai kesenian
Sunda, terutama seni tembangnya yang dikenal dengan kecapi suling. Dari susunan
nada yang lembut melankolik itu kiranya tidak akan timbul susunan warna yang
keras atau berat melainkan cenderung ke arah nada warna lembut penuh dengan
khayal.
c.
Pola Hias
Selain nada warna yang terang
dan lembut, masyarakat Sunda menyenangi pula berbagai ragam hias
untukmengimbangi kemeriahan susunan warnanya. Kidung Sunda yang diterbitkan
pada tahun 1928 oleh Bale Poestaka di Weltevreden, Batavia, melukiskan
bagaimana para bangsawan Sunda berpakaian, yang disusun dalam kinanti sebagai
berikut:
Anggoanana
aralus
Matak serab
nu ningali
Sang
Nalendra kahuripan
Ngagem
Kaprabon lineuwih,
Dodotna buatan sebrang,
Dikembang parada rukmi
Beulitan giningsing
kawung,
Surup lamun
ditingali
Duhungna kadipatian
Landean duhung mas adi
Ditabur mirah
dalima,
Sarta mutiara
manik
Cahya
permata harurung
Tinggal
ebyar adu manis
Lir cika-cika
maruntang,
Sanggul
geyot cara keling,
Dicangklek kancana
mubyar
Ditarapang inten
rukmi
Direka garuda
mungkur
Payus lamun ditingali
Disusumping kembang
bodas
Mencenges di
kanan keri
Kilat bahu
atmaraksa,
Wuwuh surup
Sang Narpati.
Sang Prabu
Daha kacatur,
Salira tegep
rasppati,,
Nganggo dodot
sutra kembang
Diparada
warna sari,
Sinjang
kayas ti Banyumas
Wuwuh sigit
ditingali.
Kata-kata yang digarisbawahi
ialah istilah-istilah yang mengandung pengertian ragam hias. sebagian
kata-kata ragam hias itu menjadi nama dari ragam hias batik tulis yang
dibanggakan oleh masyarakat pemakainya, seperti dodot, giringsing kawung, para,
garuda mungkur,, dan kembang bodas.
d. Susunan
Warna Kasundaan menurut Nuansa Warna
1)
Nada warna
ke arah merah atau kemerahan dan kuning:
beureum
beureum cabe
beureum ati
kasumba
kayas
gedang asak
gading
koneng
koneng enay
2)
Nada warna
ke arah biru atau kebiruan dan hijau:
hejo
hejo lukut
hejo ngagedod
hejo paul
paul
gandaria
gandola
bulao saheab
pulas haseup
bula
3)
Nada warna
yang tidak termasuk ke dalam dua kelompok terdahulu:
bodas
hideung
borontok
coklat kopi atau pulas kopi, kopi tutung
candra mawat
bulu hiris
bulu oa: dawuk, hawuk, kulawu, pulas lebu
(oa adalah
sebangsa primata / monyet berbulu warna abu-abu)
BAB III
PENUTUP
1. Untuk mengakhiri tulisan
yang memerlukan kajian dan analisis yang lebih dalam ini, penulis mencatatkan
beberapa pertanyaan, yang mungkin bisa dijawab melalui penelitian selanjutna.
- Apakah seni
kriya batik bisa hidup bertahan untuk 5 sampai 10 tahun lagi dengan berbagai
kondisi budaya dan perubahan lingkungannya?
- Apakah mungkin
dapat dikembangkan desain dan seni kriya batik dalam lingkungan kerja seni yang
tidak mendapat perlindungan hukum? Perlindungan tersebut mencakup hak cipta,
perlindungan terhadap alam lingkungan hidup perajin, perlindungan kemudahan
untuk mendapatkan bahan mentah, perlindungan untuk mendapatkan laba/nilai lebih
secara ekonomis yang adil serta perlindungan terhadap kebebasan berkreasi seni?
2. Seni kriya batik dalam
keseluruhan penggarapan seni, menjadi satu dengan unsur-unsur seperti
lingkungan hidup, persediaan bahan mentah, kesempatan pemasaran, kreativitas,
dan latar budaya etnik.
3. Penggarapan seni kriya
batik di Indonesia lebih bersifat komunal daripada individual, kekayaan tradisi
artistik masih melekat di setiap lingkungan kerja seni kriya batik yang
tersebar dari pesisiran sampai ke puri dan keraton.
4. Penggarapan seni kriya
secara individual dikerjakan oleh seniman/desainer lulusan akademi yang
jumlahnya tidak banyak, karena di Indonesia hanya terdapat lima perguruan
tinggi seni rupa dan desain. Jurusan kriya, termasuk batik, hanya
terdapat di dua perguruan tinggi.r
5. Dalam waktu sepuluh tahun
terakhir telah terjadi kerja sama antara perajin desa yang tradisional dengan
seniman/desainer akademis, hasilnya tercipta desain-desain baru yang memberikan
harapan untuk terus dikembangkan.
6. Dari pengalaman bergaul
dengan pengudaha/perajin di pedesaan, terdapat banyak tetua perajin batik yang
ahli tidak menginginkan lagi anaknya untuk berusaha di bidang kerajinan, karena
pekerjaan itu tidak memberikan atau menjanjikan harapan hidup di masa depan.
dengan demikian keahlian sebagai perajin batik tidak dapat diturunkan
kepada sanak keluarganya, karena yang muda-muda lebih senang bekerja di kota.
Kenyataan itu perlu dicegah dengan program pengembangan yang persuasif
edukatif.
7. Keindustrian dalam seni
kriya batik tidak hanya mengandung suatu proses kerja teknologi seni kriya,,
melainkan melibatkan unsur-unsur sosiologi, budaya lokal, adat-istiadat yang
tekah melekat. semuanya pada saat ini menjelang abad 21, berbenturan dengan
arus budaya baru, teknologi media informasi yang tidak sedikit menyebabkan
masyarakat penguasa dan pekerja seni kriya yang tradisional menjadi kebingungan
serta terseret ke pinggiran.
DAFTAR PUSTAKA
Affendi, Yusuf, Prof.2003.Globalisasi
dan Kebudayaan. Institut
Teknologi Bandung: Bandung
http://ndorokakung.wordpress.com/batik_ditengah_arus _globalisasi.html