KEKELIRUAN
paling mendasar dalam pembangunan pendidikan selama sejarah Indonesia modern
adalah mempersempit pendidikan hanya sekadar persekolahan belaka. Anggaran
pendidikan yang semakin besar (tahun 2014 mencapai Rp 80 T) dialokasikan untuk
memperbesar sistem persekolahan. Pendidikan nonformal, apalagi pendidikan
informal dalam keluarga di rumah, dinomorduakan karena tidak terukur, tidak
memiliki standar (lihat istilah teknokratik standar pelayanan minimal), dan
oleh karena itu dinilai tidak bermutu. Anak yang tidak pernah bersekolah
(seperti anak rimba) langsung dianggap tidak terdidik dan kampungan.
Persekolahan
mengubah belajar sebagai proses-proses yang alami menjadi komoditas layanan
pendidikan. Begitu belajar mensyaratkan persekolahan, pendidikan langsung
menjadi barang langka by definition. Ivan Illich telah menunjukkan dengan
gamblang pada akhir 1960-an bahwa massive schooling system ala
Amerika Serikat sang adidaya waktu itu telah gagal mewujudkan pendidikan
universal bagi warganya sendiri. Yang terjadi dari massive schooling
system itu adalah massive miseducation. Hal ini berlaku juga di
Indonesia memasuki dekade kedua abad ke-21 ini, kira-kira 50 tahun kemudian.
Saya berkeyakinan, memperhatikan banyak fakta mutakhir pendidikan Indonesia,
masalah pendidikan kita saat ini adalah too much schooling, not the lack
of it.
Yang
paling dirugikan dari sistem persekolahan ini adalah warga miskin, terutama
yang tinggal di pedesaan dan daerah terpencil. Ini kesimpulan yang tidak
intuitif dan tidak populer, tapi memang demikianlah adanya. Sekolah sangat bias
kelas menengah perkotaan yang hidup dalam setting industrial. Inilah akar
sosiologis yang mengakibatkan urbanisasi global selama seratus tahun terakhir,
termasuk di Indonesia. Sebenarnya tidak ada “daerah tertinggal” karena yang
sebenarnya terjadi adalah “daerah yang ditinggalkan” warga mudanya ke kawasan
perkotaan.
Bukti
massive miseducation itu antara lain adalah ujian nasional (unas) sebagai
puncak dari gejala sekolahisme yang memberhalakan persekolahan. Kecurangan
berupa nyontek masal terjadi secara masif dan sistemik, melibatkan guru dan
birokrat pendidikan. Sing jujur ajur. Unas yang dirancang untuk ikut menentukan
kelulusan siswa dari sebuah sekolah telah didaku sebagai alat untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sekaligus dipakai sebagai alat untuk
memetakan capaian mutunya. Namun, hasil sigi internasional tepercaya seperti Program
in International Student Assessment(PISA), Trends in International Maths
and Science Studies (TIMSS), serta The Learning Curve of Economic
Intelligence Unit menunjukkan bahwa kinerja pendidikan kita berhenti di
papan bawah: keaksaraan kita buruk dan kemampuan anak-anak Indonesia rendah
dalam hal berpikir orde tinggi sepertiproblem solving.
Sebagai
gejala sekolahisme, Kemendikbud lalu menyikapinya dengan meluncurkan kurikulum
2013. Kurikulum baru ini diajukan sebagai penyempurnaan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) dan dirumuskan sebagai bagian dari upaya memperbesar
sistem persekolahan: memperlama siswa tinggal di sekolah; memperpanjang lama
bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi; lalu meningkatkan efektivitas
pembelajaran melalui perubahan kurikulum, pelatihan guru, serta perbaikan
sarana dan prasarana sekolah. Pendek kata, Kemendikbud percaya bahwa
memperbesar persekolahan adalah resep untuk memastikan sebuah bonus demografi
yang bakal terjadi dalam 5-15 tahun ke depan. Hemat saya, kerangka kebijakan
ini keliru dan bakal menghasilkan tagihan demografi.
Kegagalan
sistem persekolahan ini makin kentara justru di abad internet ini. Internet
sedang merobohkan tembok-tembok sekolah. Sebelum adanya internet, belajar
sebenarnya tidak pernah mensyaratkan guru dan kurikulum yang njlimet rancangan
para teknokrat ahli, apalagi formalisme persekolahan.
Belajar
semula adalah sebuah proses inside-out, pertumbuhan bakat, minat, dan kapasitas
anak yang unik. Kehadiran sekolah kemudian justru merusak proses-proses alamiah
dan spontan ini dan menjadikannya formalistis, manipulatif, dan kaku serta outside-in
penuh penyeragaman yang menghilangkan keunikan anak. Kompetensi dan bahan
kajian dirumuskan oleh perencana kurikulum dan pasar kerja, bukan oleh warga
belajar sendiri. Sir Ken Robinson belum lama ini menegaskan bahwa sistem
persekolahan adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas krisis sumber
daya manusia di abad ke-20. Kita tidak mungkin melakukan revolusi mental dengan
menggunakan mentalitas standardisasi ala persekolahan.
Seperti
mobil, sebenarnya kita tidak pernah membutuhkan sekolah. Kita hanya
menginginkannya, bahkan kecanduan sekolah. Sekolah merancukan belajar dengan
bersekolah. Kemudian kita merancukan kompetensi dengan gelar, kesalehan dengan
rumah ibadah, ketertiban dengan kantor polisi, mobilitas dengan mobil, dan isi
dengan bungkusnya. Seperti mobil pula, banyak sekolah hanya tempat untuk
menyombongkan diri atas status sosial kita. Akibatnya, kita semakin
tersekolahkan, tapi tidak makin terdidik sementara masyarakat semakin
terkotak-kotak dan kerekatan sosial kita merendah.
Memandang
ke depan ini, harapan revolusi mental yang dikumandangkan para calon presiden
dalam Pilpres 2014 tidak bisa disandarkan pada sistem persekolahan kita. Kita
justru perlu mengurangi formalisme persekolahan, lalu memperluas kesempatan
belajar melalui jejaring belajar nonformal dan informal. Terutama melalui
penguatan keluarga sebagai satu simpul belajar yang pertama dan utama. Kita
perlu mengembalikan tugas-tugas mendidik warga muda itu pada keluarga di rumah
sebagai unit edukatif sekaligus memperkuatnya menjadi unit produktif. Kekuatan
bangsa ini tidak boleh dipijakkan pada sekolahnya, tapi pada keluarganya.
Daniel
Mohammad Rosyid ; Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur
Sumber : JAWA POS, 24 Mei 2014