SEMOGA Pak Nuh masih ingat
perbincangan ringan yang terjadi pada Selasa, 15 Desember 2009, bertempat di
Plaza Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat itu Pak Nuh mengundang
10 penulis artikel pendidikan produktif sepanjang 2008-2009. Sebagai salah satu
dari 10 orang yang diundang, saya cukup terkesan dan mengapresiasi tradisi yang
coba dibangun Mendikbud. Dalam kata sambutan yang singkat dan sederhana,
Mendikbud sangat menghargai masukan dan kritik yang disampaikan para penulis
tentang kerja-kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebagai salah satu spektrum yang
membawa warna tersendiri dalam evaluasi kinerja Mendikbud, kritik dan masukan para
penulis diharapkan Pak Nuh akan memberikan tambahan energi pemerintah dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya. Sebagai mitra, para penulis diibaratkan
Pak Nuh memiliki banyak warna ide dan gagasan, dengan kumpulan dari warna-warna
tersebut akan mempercepat proses pertumbuhan warna putih yang diharapkan muncul
sebagai simbol terangnya dunia pendidikan di Tanah Air.
Waktu itu, Pak Nuh yakin untuk
menghilangkan segala bentuk diskriminasi dalam dunia pendidikan di Tanah Air.
Pertanyaannya kemudian ialah, apakah ujian nasional yang selama hampir lima
tahun terakhir tidak pilih kasih, tidak diskriminatif? Mungkin itulah yang
menyebabkan munculnya surat terbuka dari Nurmillaty Abadiah kepada Pak Nuh
tentang UN. Terlepas dari kontroversi tentang benartidaknya seorang siswa SMA
mampu `menelanjangi’ kebijakan UN secara detail dan gamblang hingga pada
akhirnya Pak Nuh sendiri ragu dengan tulisan tersebut, menurut saya, beberapa
poin yang dikemukakan Nurmillaty secara substantif sangat faktual dan mengena.
Ketidakmerataan bobot soal yang
mudah dan sulit jelas sekali tampak jika kita baca secara cermat bentuk soal
dalam ujian nasional. Apa yang dialami Nurmillaty, menurut saya, juga terjadi
pada ribuan siswa lainnya, yakni mereka diperlakukan secara tidak adil karena
soal yang mereka dapatkan bisa jadi lebih sulit dan dalam beberapa hal bahkan
belum pernah dipelajari siswa bersangkutan. Jelas sekali hal itu melanggar asas no
discrimination yang sedari awal sering didengungkan Pak Nuh. Dalam bahasa
yang sedikit satire, Nurmillaty bahkan mengkritisi soal matematika yang bahkan
gurunya sendiri di SMA tak bisa menjawabnya.
Saya juga setuju dengan Nurmillaty
bahwa proses UN telah berlangsung secara tidak jujur karena banyak yang
menggunakan jalan pintas. Saya hanya ingin menegaskan kepada Pak Nuh, jalan
pintas itu tidak bisa disembunyikan dari kenyataan. Jika Pak Nuh tak yakin soal
bocornya soal UN, misalnya, menurut saya, Pak Nuh tak memperoleh laporan yang
jujur dari para pengawas UN yang ditugasi. Jalan pintas itu benar-benar telah
menyentuh hampir semua pemangku kepentingan pendidikan, mulai siswa, guru,
kepala sekolah, orangtua, hingga pegawai Kemendikbud di kabupaten dan provinsi.
Artinya, UN memang menyenangkan karena secara massal dianggap sebagai
kesempatan untuk mencari penghasilan tambahan bagi orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.
Ini artinya bahwa dengan adanya UN,
makin merebak kecurangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karena tak
peduli dengan proses, setiap siswa, guru, dan orang tua menginginkan anak-anak
mereka lulus, tak peduli soal cara. Pak Nuh saya rasa perlu merenungkan kembali
posisi UN dalam sistem pendidikan kita, setidaknya jika dilihat dari aspek
akuntabilitas. Saya khawatir Pak Nuh keliru dalam memaknai akuntabilitas karena
biasanya bentuk akuntabilitas akan terpulang pada seperangkat ekspektasi yang
ada dan berkembang di dalam masyarakat. Apakah UN merupakan ekspektasi
masyarakat? Kita belum pernah menyurveinya. Dari pengalaman saya selama ini
dalam berinteraksi dengan guru dan siswa, rata-rata mereka mengharapkan agar UN
dihentikan.
Jo Anne Anderson dalam Accountability
in Education (2005) menyebutkan setidaknya ada tiga bentuk akuntabilitas
pendidikan yang berkembang saat ini. Pertama ialah bentuk akuntabilitas yang
didorong sekadar untuk memenuhi aturan yang berlaku dalam sebuah sistem
pendidikan (compliance with regulations). Titik tekan pada akuntabilitas jenis
itu biasanya sangat kaku dan birokratis karena aturan dibuat biasanya hanya
untuk menguntungkan kelompok tertentu.
Kedua ialah jenis akuntabilitas
pendidikan yang didorong untuk memenuhi profesionalisme setiap orang yang terlibat
dalam proses perencanaan dan pengembangan program-program pendidikan (adherence
to professionalism). Meskipun terlihat ideal, akuntabilitas jenis itu selalu
dipenuhi rambu-rambu akademik yang juga kaku dan kurang menghargai proses.
Namun, sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban, akuntabilitas jenis itu
relatif bisa diubah dengan cepat karena bisa jadi sangat bersifat lokal,
misalnya sekolah dan kampus.
Jenis ketiga dari akuntabilitas
pendidikan ialah sebuah rangkaian penilaian yang berorientasi pada kinerja atau
hasil yang diperoleh sebuah lembaga atau individu (results driven).
Akuntabilitas jenis itu lebih menekankan pada aspek hasil yang dicapai dari
sebuah rangkaian proses yang sebelumnya sudah ditetapkan standarnya. Artinya,
bentuk penilaian jenis itu memerlukan kombinasi dua pendekatan lainnya karena
hasil selalu harus diukur standar kinerja yang biasanya diputuskan peraturan
yang dibuat.
Kasus ujian nasional (UN) ialah
salah satu contoh terbaik bahwa bentuk akuntabilitas pendidikan yang dianut sistem
pendidikan kita ialah kepatuhan terhadap aturan dan lebih banyak mengejar
akuntabilitas siswa melalui ujian. Padahal, untuk mengetahui secara
komprehensif sebuah hasil dari proses belajarmengajar, tidak cukup hanya
melihat hasilnya saja, tetapi juga menimbang dasar-dasar penegakan
profesionalisme kependidikan seperti sarana dan prasarana pendidikan,
kompetensi dan profesional guru, serta birokrasi yang sehat. Yang sering
terlupakan dalam menuntut akuntabilitas pendidikan ialah bagaimana memasukkan peran
serta dan tanggung jawab masyarakat sebagai bagian yang juga harus
dipertanggungjawabkan komunitas sekolah.
Ahmad
Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
Sumber : MEDIA INDONESIA, 19 Mei 2014