Memutus mata rantai kekerasan harus dimulai dari memperbanyak muatan kurikulum berbasis karakter, guna menetaskan lulusan berbudi pekerti luhur yang berintegritas moral tinggi. Kekerasan fisik di STIP dan SD, serta kekerasan seksual kepada murid TK JIS diharapkan dapat menjadi bentuk kekerasan yang terakhir di lembaga pendidikan.
Dunia
pendidikan di Indonesia kembali berduka. Setelah terkuak tragedi kekerasan
seksual terhadap murid taman kanak-kanak Jakarta International School (JIS),
wajah pendidikan kembali ternodai tindak kekerasan fisik di Sekolah Tinggi Ilmu
Pelayaran (STIP) Jakarta, yang menewaskan seorang taruna junior, Dimas Dikita
Handoko (19), karena dipukuli dan dianiaya tujuh taruna seniornya.
Kasus
kekerasan fisik di STIP berlanjut lagi dengan meninggalnya Renggo Khadafi,
siswa kelas V SD yang tewas dipukuli kakak kelasnya. Kasus kekerasan yang
berujung kematian ini amat memprihatinkan sebab terjadi di lembaga pendidikan
yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu dan jauh dari tindak kekerasan. Ironisnya,
lembaga pendidikan yang seharusnya menggodok para pemimpin bangsa di masa
datang justru menjadi tempat pembantaian manusia. Pertanyaannya, calon pemimpin
seperti apa yang bisa diharapkan menetas dari lembaga pendidikan yang
mengedepankan otot ketimbang otak itu?
Kekerasan
demi kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan membuat hati miris, mengapa
penganiayaan fisik bisa berkembang di lembaga pendidikan dan berakhir dengan
menghilangkan nyawa orang. Salah satu alasan yang kerap dilontarkan adalah,
proses pembelajaran yang berlangsung di lembaga pendidikan hanya sekadar
mengejar target pencapaian kurikulum sehingga proses pendidikan nilai makin
kabur. Hal ini telah berlangsung lama dan menjadi proses pelapukan mutu
pendidikan. Fenomena ini menjadi topik diskusi aktual dalam rangkaian
peringatan Hari Pendidikan Nasional bulan Mei ini, untuk mengingatkan
pendidikan di negeri yang berlandaskan Pancasila ini selalu dibayang-bayangi
perapuhan nilai.
Ketika
proses pendidikan diarahkan semata mengejar pencapaian tujuan kurikulum,
institusi pendidikan telah diposisikan sekadar pabrik yang membidani lahirnya
tukang. Perakitan produk akhir demikian bermuara pada proses pelapukan mutu
pendidikan karena miskin pembelajaran budi pekerti. Secara perlahan tapi pasti,
lembaga pendidikan direduksi menjadi sekadar arena diklat (pendidikan dan
latihan) untuk menyiapkan lulusannya siap pakai. Sekolah mempersiapkan
alumninya siap masuk ke pasar kerja, jelas hal penting. Namun, dalam tataran
nilai budaya, tujuan ini tidak seluruhnya benar karena lembaga pendidikan tidak
semata pusat pemintaran intelektual. Secara pedagogis adalah sesat jika
keberhasilan kognitif terlalu didewa-dewakan sebagai alat representasi prestasi
siswa dan mahasiswa dengan memarjinalisasikan sistem pendidikan nilai yang
berkaitan dengan budi pekerti.
Revitalisasi
pendidikan nilai guna membentuk kembali budi pekerti kian penting dimaknai,
ketika dalam kehidupan masyarakat makin kabur kriteria moral yang dapat
digunakan sebagai acuan untuk berperilaku. Ketika di sekolah terjadi
penganiayaan fisik, lembaga pendidikan yang menaburkan benih-benih
demokratisasi ini bukan lagi tempat steril dari segala macam bentuk kekerasan.
Tawuran di tingkat siswa SMP dan SMA di sejumlah kota besar merupakan serpihan
contoh lain yang menyadarkan kekerasan kerap berulang di sekolah.
Kekerasan
di dunia pendidikan tidak pernah surut. Benih kekerasan yang disemaikan dalam
media perpeloncoan misalnya, terus diwariskan ke generasi berikutnya dan
menjadi awan gelap yang menutupi pancaran sinar pencerahan pendidikan nilai.
Meski perpeloncoan sudah dihapus sejak 1995, kegiatan ini masih terus bergulir
seperti bola salju di sejumlah kampus untuk alasan menumbuhkan “disiplin” bagi
mahasiswa baru. Ada dugaan, perpeloncoan yang dikemas dalam bingkai pendidikan
ala militer yang bias ini acap menjadi pembenaran bagi senior untuk menindas
mahasiswa baru. Perpeloncoan dengan hukuman fisik bukan lagi situasi insidentil
yang dilakukan antara senior dan junior, tetapi sudah berubah menjadi suatu
situasi massal yang sistematis dan terorganisasi secara rapi.
Bentuk
Lain
Lembaga
pendidikan terus diwarnai berbagai kekerasan baik fisik maupun nonfisik.
Perilaku agresif untuk menekan atau menyerang dengan kata-kata (bullying),
seperti ejekan untuk mempermalukan, hinaan, tekanan, dan fitnah, dengan maksud
mendehumanisasi orang lain dapat disebut telah melakukan tindak kekerasan dalam
bentuk lain (nonfisik). Pelakunya tidak hanya siswa dan mahasiswa senior,
tetapi orang tua dapat melakukan bullying terhadap anak-anaknya dan orang lain.
Tindakan bullying sudah
menjadi keseharian di lembaga pendidikan di Tanah Air, mulai dari tingkat TK/SD
hingga universitas. Konon, pernah terjadi seorang siswa meninggal dunia karena
gantung diri akibat sering diejek temannya sebagai anak tukang bubur. Korban
lain adalah seorang siswa SMP meregang nyawa karena penyakit jantungnya kambuh
tiba-tiba saat mengikuti Ujian Nasional (UN) 2007 di Semarang.
Para
siswa peserta UN acap mengalami depresi berat saat ujian. Mereka berada di
bawah tekanan sebab UN dianggap sebagai penentu kelulusan. Dunia pendidikan pun
tak ubahnya seperti pabrik pakaian jadi. Konsumen tidak mempersoalkan bagaimana
proses pembuatan pakaian itu, yang penting apakah setelah jadi, baju tersebut
bagus atau jelek di badan si pemakai. Semangat mengutamakan produk akhir dalam
tujuan pendidikan kini kian mengental dengan terselenggaranya kembali UN
2014—dengan sejumlah kecurangan yang selalu terjadi—sebagai penentu kelulusan.
Di
sisi lain, makin maraknya penyelenggaraan bimbingan tes untuk membantu siswa
mengatasi kepanikan menghadapi UN, menandakan siswa selalu berada di bawah
bayang-bayang kekerasan. Itu artinya, proses pelapukan mutu pendidikan di
sekolah tetap berlangsung tanpa bisa dihentikan karena UN telah berhasil
mereduksi esensi dari makna belajar. Praktik pendidikan formal telah
diperlakukan tak ubahnya dunia persilatan yang mengutamakan otot, juga dunia
perdagangan yang mementingkan produk akhir yang bernilai ekonomi. Bagaimana
produk itu dibuat seolah bukan urusan pejabat berwenang. Pendidikan pun sudah
menjadi komoditas untuk meraup untung.
Lembaga
pendidikan patut segera disterilkan dari segala bentuk kekerasan. Untuk itu,
proses pembelajaran tidak lagi semata pemintaran intelektual (kognisi), tetapi
saatnya diarahkan juga kepada pembentukan karakter (afeksi) peserta didik
secara berkelanjutan.
Memutus mata rantai kekerasan harus dimulai dari memperbanyak muatan kurikulum berbasis karakter, guna menetaskan lulusan berbudi pekerti luhur yang berintegritas moral tinggi. Kekerasan fisik di STIP dan SD, serta kekerasan seksual kepada murid TK JIS diharapkan dapat menjadi bentuk kekerasan yang terakhir di lembaga pendidikan.
Memutus mata rantai kekerasan harus dimulai dari memperbanyak muatan kurikulum berbasis karakter, guna menetaskan lulusan berbudi pekerti luhur yang berintegritas moral tinggi. Kekerasan fisik di STIP dan SD, serta kekerasan seksual kepada murid TK JIS diharapkan dapat menjadi bentuk kekerasan yang terakhir di lembaga pendidikan.
Posman
Sibuea ; Guru Besar Tetap di Universitas Katolik Santo
Thomas Sumatera Utara
Sumber : SINAR HARAPAN, 16 Mei 2014