PERINGATAN
Hari Pendidikan Nasional dan kunjungan calon presiden Joko Widodo ke Museum Ki
Hadjar Dewantara seperti napak tilas untuk menemukan kembali api semangat
pendidikan yang hilang. Api semangat yang oleh konsensus nasional
dipersonifikasikan dalam figur Ki Hadjar sehingga hari kelahirannya (2 Mei)
dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Seluruh jejak langkah perjuangan Ki Hadjar
mencerminkan empatinya kepada wong cilik, penghormatannya terhadap martabat dan
kesederajatan manusia, serta kegigihannya memperjuangkan kedaulatan,
kemandirian, dan kepribadian bangsa. Tak salah jika Bung Karno menyebutnya
sebagai salah satu ”guru” terpentingnya.
Terlahir
dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, ia adalah putra kedua dari
Kanjeng Pangeran Harjo Soerjaningrat yang merupakan putra tertua Paku Alam III,
Raja Keraton Pakualaman. Meski berdarah biru, sejak kecil, Soewardi mengaji di
pesantren dan menikmati kehangatan pergaulannya dengan rakyat jelata, terlebih
setelah ia bergumul dengan berbagai pergerakan kebangsaan, seperti Indische
Partij. Saat genap berusia 40 tahun, ia tanggalkan gelar kebangsawanannya,
lantas mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara agar ia bisa lebih dekat
dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa. Saat pengasingan di Belanda
(1913-1919), ia berkesempatan menimba ilmu pendidikan hingga memperoleh ijazah
bergengsi, Europeesche Akte. Dalam menggeluti ilmu pendidikan, Soewardi
terkesan oleh ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan
Montessori, serta model pendidikan Santiniketan di India yang dikembangkan
Rabindranath Tagore. Inspirasi dari tokoh-tokoh pendidikan tersebut, yang
dikombinasikan dengan khazanah tradisi pesantren dan tradisi pengajaran lainnya
di Nusantara, memberinya model baru pendidikan yang berkhidmat pada emansipasi
kerakyatan dan kepribadian nasional. Tak lama setelah kembali ke Tanah Air pada
September 1919, ia merealisasikan gagasan pendidikan impiannya itu dengan
mendirikan Perguruan Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa)
pada 3 Juli 1922.
Melalui
Taman Siswa, Ki Hadjar memperoleh wahana untuk membumikan visinya tentang
masyarakat kekeluargaan yang berevolusi bak organisme hidup di mana ”ketertiban
dan kedamaian” dalam kehidupan pribadi ataupun kehidupan nasional dapat
dicapai ”melalui pengenalan dan penerapan asas hak individu untuk
menentukan nasib sendiri yang dipadukan dengan tuntutan kolektif”. Di sekolah
ini juga ditanamkan pendidikan karakter yang kuat, bagaimana menjadi manusia
Indonesia yang santun, tulus, jujur, dan bersahaja, tetapi berani, teguh, dan
setia dalam memperjuangkan kemerdekaan, kebenaran, dan keadilan.
Diatas
segalanya, Ki Hadjar memandang pendidikan sebagai proses belajar menjadi
manusia. Manusia merupakan pribadi istimewa sebagai ”perwujudan khusus” (diferensiasi)
dari alam. Sebagai perwujudan khusus dari jagat besar, manusia harus berusaha
menyatukan diri dengan aturan alam. Akan tetapi, berbeda dengan respons
otomatis- naluriah dari tumbuhan dan hewan, manusia dapat menentukan pilihan
serta punya peran aktif dan kreatif dalam alam. Menurut Ki Hadjar, inilah
sifat-sifat kekhalifahan-ketuhanan yang menimbulkan gagasan kehalusan adab,
kesusilaan, dan kebudayaan.
Dalam
proses belajar menjadi manusia sebagai makhluk berkebudayaan, setiap individu
memiliki tiga potensi besar sebagai kreator kebudayaan yang disebutnya sebagai
trisakti insani: cipta (pikiran), yang membuahkan pengetahuan, pendidikan, dan
filsafat; rasa yang membuahkan keindahan, keluhuran batin, seni, adat istiadat,
penyesuaian sosial, nasionalisme, keadilan, dan keagamaan; serta karsa
(kemauan) yang menimbulkan perbuatan dan buatan manusia, seperti industri,
pertanian, dan bangunan (arsitektur).
Pendidikan
sebagai proses pembudayaan harus mampu mengembangkan ”trisakti” insani dengan
memberdayakan segala potensi inderawi. Melalui pembelajaran olah pikir, olah
rasa, dan olah raga, pendidikan sepanjang hayat dalam kerangka memanusiakan
manusia diorientasikan untuk belajar tahu, belajar kecakapan hidup, belajar
mewujudkan potensi diri yang khas, dan belajar hidup bersama dalam keragaman. Selain
mengembangkan potensi pribadi sebagai perwujudan khusus dari alam, proses
pendidikan harus mampu menghubungkan kapasitas individual ke dalam kehidupan
kolektif sebagai warga komunitas, bangsa, dan dunia. Pemahaman seperti itu
tertuang dalam semboyan ”membahagiakan diri, membahagiakan bangsa,
membahagiakan kemanusiaan”. Karena itu, pendidikan harus terkait dengan visi
transformasi bangsa.
Sebagai
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Ki Hadjar
berperan penting dalam merumuskan Garis-garis Besar Pendidikan dan Pengajaran
yang berisi visi transformasi bangsa yang dikehendaki oleh proses pendidikan.
Orientasi pendidikan diarahkan untuk mewujudkan kesetaraan, kepribadian,
kesejahteraan, kemajuan, dan persatuan dalam keragaman.
Dengan
menghayati api semangat pendidikan yang terkristal dalam perjuangan Ki Hadjar,
semestinya setiap kali menteri berganti tidak perlu berganti kurikulum.
Keberhasilan pendidikan tidak pula harus diukur dari capaian negara mana pun.
Sepanjang hayat, ada elemen konstanta dalam tujuan dan ukuran pendidikan.
Pendidikan adalah proses belajar memanusiakan manusia dengan menjadikan
peningkatan integritas (keutuhan) kemanusiaan sebagai ukurannya.
Yudi
Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Kompas : KOMPAS, 06 Mei 2014