Pernahkah
kita menimbang kebutuhan teknologi informasi negara Indonesia? Mari kita
sedikit bermain dengan angka. Misalkan, komputer yang digunakan lembaga
pemerintah di pusat dan daerah berjumlah 500.000 komputer. Jika harga sistem
operasi Microsoft Windows adalah 100 dollar AS per komputer, belanja negara
yang dikeluarkan untuk OS saja mencapai 50 juta dollar AS atau lebih dari Rp 50
miliar. Sejumlah itu pula penghematan minimum yang bisa dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia jika beralih ke sistem operasi (OS) terbuka seperti
GNU/Linux.
Dengan
menghitung pengguna komputer pribadi dan kalangan swasta yang berjumlah lebih
dari 60 juta, jika kita bisa membangun nilai paket aplikasi, ekosistem
teknologi informasi (TI), serta lapangan kerja yang bisa disediakan, maka
penghematan bisa mencapai ribuan kali lipat.
Menurut
situs resmi Linux Foundation, pada 2008 OS GNU/Linux bernilai 25 miliar dollar
AS dan terus tumbuh. Server komputer situs-situs utama dunia, seperti Youtube,
Facebook, dan Google, menggunakan Linux sebagai sistem operasi mereka karena
alasan keamanan. Beberapa superkomputer menggunakan Linux karena alasan
kehandalan. Sementara itu, negara seperti Afrika Selatan, Brasil, Tiongkok,
Rusia, Portugal, dan beberapa negara besar mulai membangun eTI berbasis open
source untuk kemandirian bangsanya.
Terobosan terhenti
Indonesia
melakukan sebuah terobosan maju ketika mencanangkan IndonesiaGo Open Source (IGOS)
pada 2004 yang ditandatangani lima kementerian, yaitu Kementerian Negara Riset
dan Teknologi, Departemen Komunikasi dan Informatika, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Departemen
Pendidikan Nasional.
Meski
demikian, langkah tersebut mendapat tantangan nyata saat Microsoft berhasil
menjalin kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi negeri pada 2005.
Microsoft dengan cerdik membidik lembaga pendidikan dan menjadikan OS serta
aplikasi buatannya sebagai perangkat yang dikenal dan biasa digunakan oleh
mahasiswa kita, sehingga saat memasuki dunia kerja mereka telah terbiasa dengan
berbagai kemudahan menggunakan Windows.
Langkah
Indonesia semakin mundur di tahun 2011, saat Departemen Pendidikan Nasional
menandatangani kerja sama dengan Microsoft untuk menjadikan Windows sebagai
fondasi dasar pendidikan TI Indonesia. Secara praktis, sejak saat itu,
kurikulum pendidikan, seluruh bahan ajar, buku wajib, dan bahan ujian mata
pelajaran TI lebih dari 45 juta pelajar dari 165.000 sekolah dan 4.500
universitas menggunakan Windows sebagai acuan.
Keganjilan
semakin menyeruak ketika mata pelajaran TIK dihapuskan dari Kurikulum 2013.
Padahal, anak-anak terbaik bangsa sejak 2004 telah berjuang dan berhasil
mengembangkan OS berbasis GNU/Linux. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
mengembangkan open source dengan kode nama IGOS-Nusantara, sedangkan Yayasan
Penggerak Linux Indonesia (YPLI) berhasil mengembangkan BlankOn.
Departemen
Pendidikan Nasional yang diharapkan membantu usaha kemandirian TI Indonesia
melalui kurikulum TI berbasis open source justru memberi kemenangan
besar kepada Microsoft untuk mengendalikan dunia TI Indonesia.
Pilar kemandirian
Negara-negara
lain di dunia melihat TI sebagai salah satu pilar kemandirian masa depan.
Perusahaan seperti Apple, Microsoft, dan Google bertarung memperebutkan
hegemoni operating system bernilai triliunan dollar. Sementara itu, Indonesia
seolah menganggap dunia TI bukanlah bagian dari masa depan kedaulatan bangsa
dan menyerahkan bulat-bulat seluruh sistem komputer kepada Microsoft.
Pada
tahun peralihan kepemimpinan 2014, 10 tahun sejak gerakan IGOS bergema, ada
banyak harapan kepada wakil-wakil rakyat dan pemimpin terpilih untuk
menghidupkan kembali semangat Go Open Source Indonesia. Memang, belum ada
satu pun partai yang terlihat memiliki visi-misi kuat di bidang TI, semua masih
berkutat dalam persoalan-persoalan klasik dan populis.
Dunia
TI adalah dunia artifisial yang bergerak dinamis dan sangat cepat. Beberapa
waktu lalu kita melihat bagaimana raksasa Nokia limbung, demikian juga
Blackberry, karena terlambat merespons perubahan teknologi. Oleh karena pada
masa depan hampir segala hal akan terkait TI, dunia TI Indonesia masa depan
bukan hanya soal penghematan bernilai ratusan juta dollar, melainkan juga soal
kedaulatan. Jika tidak tahun ini TI Indonesia berbasis open source dibangun
lagi, negara kita akan tertinggal semakin jauh di bidang TI dan akan semakin
rapuh.
Pemilu
baru saja berlalu, dan kita berharap pergantian kepemimpinan pada tahun ini
memunculkan wakil-wakil rakyat yang memahami pentingnya kedaulatan TI untuk
masa depan bangsa. Setidaknya memunculkan orang yang memiliki pengalaman dan
visi yang tajam di bidang TI untuk mengelola Kementerian Komunikasi dan
Informatika.
Irpanudin
; Guru Honorer dan Pemerhati TI, Tinggal di Bogor, Jawa Barat
Sumber : KOMPAS, 17 Mei 2014