“Betapa hebat angka nilai sehingga dianggap
bisa menggambarkan kualitas siswa dengan menafikan potensi lain”
BEBERAPA
waktu lalu sering kita saksikan pada layar televisi iklan propaganda KPK
tentang seseorang yang sewaktu kecil suka bohong akhirnya masuk penjara karena
korupsi. Secara sekuel dikisahkan, ada tokoh bernama Adi yang suka bohong
semasa kecil, suka menyontek ketika ujian sekolah, berselingkuh waktu pacaran,
menyogok polisi ketika terkena razia, akhirnya masuk penjara KPK karena
korupsi.
Sebenarnya
banyak modus curang yang dapat diklasifikasikan menyontek saat ujian. Dari yang
paling vulgar, yakni membuka buku, membuat krepekan di kertas kecil yang
dilipat atau digulung, membuat ìtatoî di lengan tangan berisi rumus-rumus,
melihat jawaban teman, hingga memanfaatkan perangkat elektronik semacam telepon
seluler. Jadi menyontek itu sebenarnya perlu persiapan dan kreativitas.
Menyontek itu juga perlu trik dan strategi supaya tidak ketahuan guru atau
pengawas. Selain itu, perlu nyali karena anak yang belum pernah menyontek
akan gugup dan gelisah sampai keluar keringat dingin ketika hendak membuka
krepekan. Celakanya, dari pengelola pendidikan juga belum ada tindakan berarti
untuk mencegah dan menindaklanjuti kasus siswa menyontek. Bahkan telah menjadi
rahasia umum ada sekolah tertentu membentuk tim sukses untuk membantu siswa
menjawab soal ujian dengan berbagai cara tidak terpuji.
Di
sisi lain sanksi yang diberikan kepada siswa yang menyontek pun juga tidak
tegas. Kalau pun ada anak ketahuan menyontek, sanksinya terbilang longgar
dengan alasan anak hanyalah korban sebuah sistem, kasihan dan alasan
permisif lain. Padahal di sekolah luar negeri, menyontek atau bahasa
Inggrisnya cheating adalah pelanggaran serius dari code of conduct yang
sanksi akademiknya sangat tegas sampai dengan pemecatan dari sekolah.
Perilaku
mencontek dilakukan anak karena ada niat dan kesempatan. Niat dalam definisi
sederhana adalah dorongan atau motif melakukan sesuatu. Mengapa niat
menyontek itu muncul? Inilah yang perlu diketahui oleh guru dan orang tua
sebelum melakukan langkah preventif. Saya bukan psikolog, tetapi
berdasarkan pengalaman saya yang pernah menjadi guru di SMP/SMA hingga sekarang
mengajar di perguruan tinggi setidak-tidaknya dapat mengenali beberapa motif anak
menyontek.
Pertama;
anak tidak siap. Ketidaksiapan ini juga bermacam sebab, misal pemberitahuan
ulangan dari guru mendadak sehingga siswa tidak punya cukup waktu untuk
belajar. Akhirnya ia menempuh jalan pintas, menyontek. Atau karena cakupan
materi ulangan terlalu banyak sehingga banyak yang harus dihafal. Beban belajar
yang terlalu banyak mendorong anak berupaya menyelamatkan diri dari impitan
beban. Dalam bahasa psikologi perilaku semacam ini disebut mekanisme
pertahanan diri. Pola belajar yang tidak teratur mengakibatkan terakumulasinya
materi pelajaran yang makin membebani anak tersebut sehingga ia menempuh jalan
pintas. \
Kedua;
alasan prestasi. Ada anak yang ingin prestasinya gemilang karena motif tertentu
yang bersifat ekstrinsik. Misal dia sudah telanjur dicap anak pandai, baik di
lingkungan keluarga maupun teman-temannya. Atau ia diiming-iming hadiah bila
prestasinya bagus dalam ujian. Motif meraih ”reward” inilah
yang mendasari dia menempuh segala cara.
Kontrak Kesepakatan
Ketiga;
solidaritas teman. Perilaku menyontek bisa berasal dari pengaruh teman. Anak
yang tidak menyontek ketika teman-teman lain melakukannya dicap sok suci, tidak
solider dan bisa-bisa dikucilkan teman. Di sinilah fungsi guru amat diperlukan,
terutama wali kelas. Kejujuran harus ditanamkan dari awal, membuat semacam
kontrak kesepakatan antara guru dan siswa sebelum pelajaran dimulai pada awal
semester.
Menutup
peluang praktik menyontek dalam ujian telah dilakukan dengan berbagai cara.
Bahkan dalam konteks UN kemungkinan adanya kebocoran soal dan praktik curang
diantisipasi dengan pengamanan superketat. Dengan 20 varian soal yang
ber-barcode dalam satu kelas (saya kira ini rekor dunia), dijaga oleh 2
pengawas dengan prosedur standar pengawasan yang jelas, rasanya tidak
mungkin terjadi kecurangan. Faktanya tetap saja ada rumor kebocoran soal. Untuk
mengeliminasi kecurangan dalam ujian saya kira faktor siswa sebagai pelaku
ujian itu yang pertama-tama harus dibenahi. Kata kuncinya adalah pendidikan
karakter. Bisa jadi selama ini pendidikan hanya diarahkan mengajarkan
pengetahuan yang mengandalkan ranah kognitif yang capaiannya mudah diukur dan
kemudian dikenali lewat angka-angka dalam rapor.
Betapa
hebat angka nilai sehingga dianggap mampu menggambarkan kualitas diri seorang
siswa dengan menafikan potensi lain. Ini sama saja kita mengingkari
kodrat anak sebagai ciptaan Tuhan yang masing-masing punya talenta berbeda.
Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang format ujian nasional bila masih akan
terus diberlakukan. Bentuk soal pilihan ganda telah membuka peluang berbuat
curang dengan gampang. Di samping itu, tipe soal tersebut tidak mungkin
mengukur kemampuan anak secara komprehensif, meliputi penilaian sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Capaian pembelajaran bukan hanya berupa
pengetahuan melainkan juga keterampilan dan terlebih sikap dan perilaku yang
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Wiyaka
; Dosen Universitas (dulu IKIP) PGRI Semarang
Sumber : SUARA MERDEKA, 06 Mei 2014