twitter


 “Betapa hebat angka nilai sehingga dianggap bisa menggambarkan kualitas siswa dengan menafikan potensi lain”
BEBERAPA waktu lalu sering kita saksikan pada layar televisi iklan propaganda KPK tentang seseorang yang sewaktu kecil suka bohong akhirnya masuk penjara karena korupsi. Secara sekuel dikisahkan, ada tokoh bernama Adi yang suka bohong semasa kecil, suka menyontek ketika ujian sekolah, berselingkuh waktu pacaran, menyogok polisi ketika terkena razia, akhirnya masuk penjara KPK karena korupsi.

Sebenarnya banyak modus curang yang dapat diklasifikasikan menyontek saat ujian. Dari yang paling vulgar, yakni membuka buku, membuat krepekan di kertas kecil yang dilipat atau digulung, membuat ìtatoî di lengan tangan berisi rumus-rumus, melihat jawaban teman, hingga memanfaatkan perangkat elektronik semacam telepon seluler. Jadi menyontek itu sebenarnya perlu persiapan dan kreativitas. Menyontek itu juga perlu trik dan strategi supaya tidak ketahuan guru atau pengawas. Selain itu, perlu nyali  karena anak yang belum pernah menyontek akan gugup dan gelisah sampai keluar keringat dingin ketika hendak membuka krepekan. Celakanya, dari pengelola pendidikan juga belum ada tindakan berarti untuk mencegah dan menindaklanjuti kasus siswa menyontek. Bahkan telah menjadi rahasia umum ada sekolah tertentu membentuk tim sukses untuk membantu siswa menjawab soal ujian dengan berbagai cara tidak terpuji.
Di sisi lain sanksi yang diberikan kepada siswa yang menyontek pun juga tidak tegas. Kalau pun ada anak ketahuan menyontek, sanksinya terbilang longgar dengan alasan anak hanyalah korban sebuah sistem, kasihan dan alasan  permisif  lain. Padahal di sekolah luar negeri, menyontek atau bahasa Inggrisnya cheating  adalah pelanggaran serius dari code of conduct yang sanksi akademiknya sangat tegas sampai dengan pemecatan dari sekolah.
Perilaku mencontek dilakukan anak karena ada niat dan kesempatan. Niat dalam definisi sederhana adalah dorongan atau motif melakukan sesuatu. Mengapa niat menyontek  itu muncul? Inilah yang perlu diketahui oleh guru dan orang tua sebelum melakukan langkah preventif.  Saya bukan psikolog, tetapi berdasarkan pengalaman saya yang pernah menjadi guru di SMP/SMA hingga sekarang mengajar di perguruan tinggi setidak-tidaknya dapat mengenali beberapa motif anak menyontek.
Pertama; anak tidak siap. Ketidaksiapan ini juga bermacam sebab, misal pemberitahuan ulangan dari guru mendadak sehingga siswa tidak punya cukup waktu untuk belajar. Akhirnya ia menempuh jalan pintas, menyontek. Atau karena cakupan materi ulangan terlalu banyak sehingga banyak yang harus dihafal. Beban belajar yang terlalu banyak mendorong anak berupaya menyelamatkan diri dari impitan beban. Dalam bahasa psikologi perilaku semacam ini disebut mekanisme pertahanan diri. Pola belajar yang tidak teratur mengakibatkan terakumulasinya materi pelajaran yang makin membebani anak tersebut sehingga ia menempuh jalan pintas. \
Kedua; alasan prestasi. Ada anak yang ingin prestasinya gemilang karena motif tertentu yang bersifat ekstrinsik. Misal dia sudah telanjur dicap anak pandai, baik di lingkungan keluarga maupun teman-temannya. Atau ia diiming-iming hadiah bila prestasinya bagus dalam ujian. Motif meraih ”reward”  inilah yang mendasari dia menempuh segala cara.
Kontrak Kesepakatan
Ketiga; solidaritas teman. Perilaku menyontek bisa berasal dari pengaruh teman. Anak yang tidak menyontek ketika teman-teman lain melakukannya dicap sok suci, tidak solider dan bisa-bisa dikucilkan teman. Di sinilah fungsi guru amat diperlukan, terutama wali kelas. Kejujuran harus ditanamkan dari awal, membuat semacam kontrak kesepakatan antara guru dan siswa sebelum pelajaran dimulai pada awal semester.
Menutup peluang praktik menyontek dalam ujian telah dilakukan dengan berbagai cara. Bahkan dalam konteks UN kemungkinan adanya kebocoran soal dan praktik curang diantisipasi dengan pengamanan superketat. Dengan 20 varian soal yang ber-barcode dalam satu kelas (saya kira ini rekor dunia), dijaga oleh 2 pengawas dengan prosedur standar  pengawasan yang jelas, rasanya tidak mungkin terjadi kecurangan. Faktanya tetap saja ada rumor kebocoran soal. Untuk mengeliminasi kecurangan dalam ujian saya kira faktor siswa sebagai pelaku ujian itu yang pertama-tama harus dibenahi. Kata kuncinya adalah pendidikan karakter. Bisa jadi selama ini pendidikan hanya diarahkan mengajarkan pengetahuan yang mengandalkan ranah kognitif yang capaiannya mudah diukur dan kemudian dikenali lewat angka-angka dalam rapor.
Betapa hebat angka nilai sehingga dianggap mampu menggambarkan kualitas diri seorang siswa dengan menafikan potensi lain. Ini sama saja kita mengingkari  kodrat anak sebagai ciptaan Tuhan yang masing-masing punya talenta berbeda. Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang format ujian nasional bila masih akan terus diberlakukan. Bentuk soal pilihan ganda telah membuka peluang berbuat curang dengan gampang. Di samping itu, tipe soal tersebut tidak mungkin  mengukur kemampuan anak secara komprehensif, meliputi penilaian sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Capaian pembelajaran bukan hanya berupa pengetahuan melainkan juga keterampilan dan terlebih sikap dan perilaku yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Wiyaka  ;   Dosen Universitas (dulu IKIP) PGRI Semarang 
Sumber : SUARA MERDEKA,  06 Mei 2014

0 komentar:

Posting Komentar