BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah proses komunikasi yang didalamnya
mengandung transformasi pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan,
di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat, dari generasi ke
generasi (Dwi Siswoyo, 2008: 25). Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa
hampir dari seluruh kegiatan manusia yang bersifat positif dapat dianggap bahwa
mereka telah melakukan proses pendidikan. Tujuan pendidikan secara luas antara
lain adalah untuk meningkatkan kecerdasan, membentuk manusia yang berkualitas,
terampil, mandiri, inovatif, dan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat
melangsungkan kehidupan sebagai makhluk individu, sosial dan beragama.
Dalam upaya memajukan pendidikan di Indonesia UNESCO mengeluarkan empat pilar
yang dapat menopang pendidikan yang ada di Indonesia ini. Keempat pilar
tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning
to live together. Dimana Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar
untuk mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di
samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog
bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
Sekolah sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya
untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya
agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terealisasi.
Walau sesungguhnya bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun
tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan.
Seperti kita ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang
kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan
pengetahuan semata.
Pilar ketiga yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk
menjadi seseorang). Hal ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat,
perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi
lingkungannya. Misal : bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya
bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa
yang pasif, peran guru sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi
fasilitator sangat diperlukan untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa
secara utuh dan maksimal.
Terjadinya proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani
kehidupan bersama), pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling
menghargai, terbuka, memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah.
Proses belajar-mengajar
merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa
atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu (Usman, 2000:4). Sedangkan menurut Suryosubroto,
proses belajar-mengajar meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari
perencanaan, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut
yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu
pengajaran (Suryosubroto 1997:19).
Mengacu dari kedua
pendapat tersebut, maka proses belajar-mengajar yang aktif ditandai adanya
serangkaian kegiatan terencana yang melibatkan siswa secara komprehensif, baik
fisik, mental, intelektual dan emosionalnya.
Dalam konteks pemahaman
tentang proses belajar-mengajar, guru dihadapkan pada sesuatu yang secara conditio
sine qua non harus diaktualisasikan dalam bentuk pembelajaran aktif,
kreatif, dan menyenangkan. Fenomena yang berkembang di lapangan menunjukkan
bahwa sebagian besar guru terbiasa mendesain pembelajaran yang “memenangkan”
guru. Artinya, guru lebih senang dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar
bagi siswa (teacher centered).
Pembelajaran didasarkan
target kurikulum, juga merupakan refleksi dari saratnya beban dan materi
pelajaran sehingga guru cenderung mengejar penyelesaian materi daripada
mengoptimalkan substansi dari kristalisasi nilai-nilai yang seyogyanya
diaktualisasikan. Artinya, guru kurang peduli dengan pentingnya kecakapan hidup
(life skill) yang harus dikuasai siswa, dan lebih mementingkan
pencapaian hasil belajarnya.
Kondisi tersebut
sudah tentu rentan akan berbagai dampak negatif yang muaranya pada
kualitas pendidikan di mana berada pada ambang batas “kekawatiran”.
Problematika yang kompleks dalam dunia pendidikan merupakan tantangan guru,
yang harus diupayakan alternatif pemecahannya. Hal ini karena stakeholder dalam
dunia pendidikan adalah orang tua, guru, masyarakat, institusi, dan para
praktisi pendidikan yang diharapkan sumbang sarannya.
Realitas di lapangan
menunjukkan bahwa sebagai upaya pencapaian target kurikulum guru cenderung
“memaksa” siswa menerima. Pengajaran tanpa mempertimbangkan apakah siswa mampu
menguasai serta mengerti dengan apa yang ia pelajari. Kondisi dapat dilihat
dari berbagai aktivitas guru, di antaranya: (1) guru memberi les/pelajaran
tambahan secara berlebihan dan cenderung menerapkan metode drill, (2) guru
hanya menjadi “tukang LKS”, (3) guru memberi pelajaran tidak sistematis, (4)
guru memberikan PR dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa, dan
(5) pengajaran tanpa media.
Ada beragam teknik yang
dapat digunakan guru untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif, kreatif,
konstruktif, ceria, dan menyenangkan serta memberi ruang gerak anak
untuk berkreasi, sesuai daya imajinasi masing-masing. Apabila kondisi
tersebut dapat didesain guru sudah tentu akan berdampak pada meningkatnya
kualitas pembelajaran.
Pembelajaran yang
berkualitas pada akhirnya bermuara pada penciptaan suasana pembelajaran yang
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Paradigma tersebut kemudian dikenal
dengan istilah PAKEM dan mendapatkan rekomendasi dari UNESCO sebagai satu
bentuk pembelajaran efektif, dengan mengacu pada empat pilar pendidikan, yakni
belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to
do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar
menjadi diri sendiri (learning to be).
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Sebagai Pilar Utama Pendidikan
Sudjana (2004:28) “Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang
sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara
dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik (sumber
belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan”. Pembelajaran adalah setiap
perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari
pengalaman. Kita telah melihat individu mengalami
pembelajaran, melihat individu berperilaku dalam cara tertentu sebagai hasil
dari pembelajaran, dan kita semua telah belajar dalam suatu tahap dalam hidup
kita. Dengan
perkataan lain, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika
seorang individu berperilaku, bereaksi, dan merespons sebagai hasil dari
pengalaman dengan satu cara yang berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya.
Hal-hal inilah yang akan mendidik seseorang untuk menjadi orang yang terdidik.
B. Pilar-Pilar Pendidikan
Komisi Pendidikan untuk Abad XX1 (Unesco 1996: 85) melihat
bahwa hakikat pendidikan sesungguhnya adalah belajar (learning).
Selanjutnya dikemukakan bahwa pendidikan bertumpu pada 4 pilar, yaitu (1)
learning to know, (2) learning to do, (3) learning to live together, learning
to live with other, dan (4) learning to be.
1.
Learning to Know ( Belajar
untuk Menguasai)
Tidak hanya memperoleh
pengetahuan tapi juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan
tersebut. Pilar ini berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang
memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi.
Secara implisit, learning
to know bermakna belajar sepanjang hayat (Life long education).
Asas belajar sepanjang hayat bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses
pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup, baik didalam maupun diluar
sekolah. Sehubungan dengan asas pendidikan seumur hidup berlangsung seumur
hidup, maka peranan subjek manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri
sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia.
Dengan kebijakan tanpa
batas umur dan batas waktu untuk belajar, maka kita mendorong supaya tiap
pribadi sebagai subjek yang bertanggung jawab atas pendidikan diri sendiri
menyadari, bahwa:
a.
Proses dan waktu pendidikan berlangsung
seumur hidup sejak dalam kandungan hingga manusia meninggal.
b.
Bahwa untuk belajar, tiada batas waktu.
Artinya tidak ada kata terlambat atau terlalu dini untuk belajar.
c.
Belajar/ mendidik diri sendiri adalah
proses alamiah sebagai bagian integral/totalitas kehidupan (Burhannudin
Salam, 1997:207).
Menurut
Isjoni (2008:47), guru adalah orang yang identik dengan pihak yang memiliki
tugas dan tanggung jawab membentuk karakter generasi bangsa. Di tangan
gurulah tunas-tunas bangsa ini terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu
memberikan yang terbaik untuk anak negeri ini di masa yang akan datang.
Guru memiliki peranan
yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang
dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan
secara saksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan
memperbaiki kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam
pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar,
maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses
belajar-mengajar.
Guru bisa dikatakan
unggul dan profesional bila mampu mengembangkan kompetensi individunya dan
tidak banyak bergantung pada orang lain.
Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik
harus mampu berperan sebagai berikut:
1)
Guru berperan sebagai sumber belajar
Peran ini berkaitan penting dengan penguasaan materi pembelajaran.
Dikatakan guru yang baik apabila ia
dapat menguasai materi pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar berperan
sebagi sumber belajar bagi anak didiknya.
2)
Guru sebagai Fasilitator
Guru berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses
pembelajaran.
3)
Guru sebagai pengelola
Guru berperan menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat
belajar secara yaman.
Prinsip-prinsip belajar yang harus diperhatikan guru dalam pengelolaan
pembelajaran, yaitu:
a)
Sesuatu yang dipelajari siswa, maka siswa
harus mempelajarinya sendiri.
b)
Setiap siswa yang belajar memiliki
kecepatan masing-masing.
c)
Siswa akan belajar lebih banyak, apabila
setiap selesai melaksanakan tahapan
kegiatan diberikan reinforcement.
d)
Penguasaan secara penuh.
e)
Siswa yang diberi tanggung jawab, maka ia
akan lebih termotivasi untuk belajar.
4)
Guru sebagai demonstrator
Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat
siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang disampaikan.
5)
Guru sebagai pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya
setiap perbedaan. Perbedaan inilah yang menuntut guru harus berperan
sebagai pembimbing.
6)
Guru sebagai mediator
Guru selain dituntut untuk memiliki
pengetahuan tentang media pendidikan juga harus memiliki keterampilan
memilih dan menggunakan media dengan baik.
7)
Guru sebagai Evaluator
Yakni sebagai penilai hasil pembelajaran
siswa. Dengan penilaian tersebut, guru dapat mengetahui
keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta
ketepatan/ keefektifan metode mengajar(Fakhruddin, 2010:49-61).
2.
Learning to do ( Belajar untuk
Menerapkan )
Pendidikan membekali
manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil
berbuat/ mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi
kehidupan. Sasaran dari pilar kedua ini adalah kemampuan kerja generasi
muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industry (Soedijarto,
2010). Dalam masyarakat industri tuntutan tidak lagi cukup dengan
penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan kemampuan untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring, designing,
organizing”. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam
situasi konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan keterampilan yang
mekanitis melainkan juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang
lain, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini,
dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang intelligent dalam bekerja dan
mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Sekolah sebagai wadah
masyarakat belajar hendaknya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan
ketrampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to
do” dapat terealisasi. Secara umum, bakat adalah kemampuan
potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang
akan datang. Sedangkan minat adalah kecendrungan dan kegairahan yang tinggi
atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.
Meskipun bakat dan minat
anak dipengaruhi factor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan
minat juga bergantung pada lingkungan . Lingkungan disini dibagi menjadi dua
yaitu:
a)
Lingkungan social
Yang termasuk dalam
lingkungan social siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman
sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut.Lingkungan social yang lebih
banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu
sendiri.
b)
Lingkungan nonsosial
Factor-faktor yang
termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat
tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, dan keadaan cuaca. Faktor-faktor
ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar
siswa (Muhibbin Syah, 2004:138).
Sekolah juga berperan
penting dalam menyadarkan peserta didik bahwa berbuat sesuatu begitu
penting. Oleh karena itulah peserta didik mesti terlibat aktif dalam
menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah agar peserta didik
terbiasa bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya, peserta didik terlatih
untuk memecahkan masalah.
3.
Learning to live together (belajar
untuk dapat hidup bersama)
Belajar memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan
nilai-nilai agamanya. Learning to live together, pada dasarnya
adalah mengajarkan, melatih dan membimbing peserta didik agar mereka dapat
menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauhi prasangka-prasangka
buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan menghindari terjadinya
perselisihan dan konflik. Persaingan dalam misi ini harus dipandang sebagai
upaya-upaya yang sehat untuk mencapai keberhasilan, bukan sebaliknya bahwa
persaingan justru mengalahkan nilai-nilai kebersamaan bahkan pengehancuran
terhadap orang lain atau pihak lain untuk kepentingan sendiri. Dengan demikian
diharapkan kedamaian dan keharmonisan hidup benar-benar dapat diwujudkan.
Dalam proses pembelajaran,
pengembangan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan guru dan sesama siswa
yang dilandasi sikap saling menghargai harus perlu secara terus menerus
dikembangakan di dalam setiap even pembelajaran. Kebiasaan-kebiasaan untuk
bersedia seringkali kurang mendapat perhatian oleh guru, karena dianggap
sebagai hal rutin yang berlangsung saja pada kegiatan sehari-hari. Padahal
kemampuan ini tidak dapat berkembang dengan baik begitu saja, akan tetapi
membutuhkan latihan-latihan yang terbimbing dari guru. Kebiasaan-kebiasaan
saling menghargai yang dipraktikkan di ruang-ruang kelas dan dilakukan secara
terus-menerus akan menjadi bekal bagi siswa untuk dapat dikembangakan secara
nyata dalam kehidupan bermasyarakat
4.
Learning to be ( Belajar untuk
Menjadi)
Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari
informasi dan/ menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam
memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap
perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya
rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik.
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan
untuk melatih siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan
merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan
pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri
sendiri (learning to be)(Atika, 2010). Menjadi diri sendiri
diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar
berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar
menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian
aktualisasi diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal
(2007:101) yaitu:
a.
Motivasi
Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang
mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu
tujuan/kebutuhan
b.
Sikap
Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam berbagai jenis tindakan
pada situasi yang tepat.
c.
Minat
d.
Kebiasaan belajar
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar mempunyai kolerasi
positif dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan
cara bertindak yang diperoleh melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada
akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis.
e.
Konsep diri
Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut
perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang
lain.
Makna pilar ke empat ini adalah muara akhir dari tiga pilar pendidikan diatas.
Dengan pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang
berkepribadian mantap dan mandiri (Aezacan, 2011).
C.
Garis Besar Mengenai ke Empat Pilar
Pendidikan UNESCO
1.
Kekuatan
Keempat
pilar pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan tujuan yang bagus
pula, dan sesuai dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut pesera didik
tidak hanya diajarkan IPTEK, kemudian dapat bekerja sama dan memecahkan
masalah, akan tetapi juga hidup toleran dengan orang lain ditengah-tengah
maraknya perbedaan pendapat dimasyarakat. Dengan ke kempat pilar ini akan
bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
2.
Kelemahan
Meskipun ke
empat pilar pendidikan ini dirancang sedemikian bagusnya, namun perlu diingat,
masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan tersebut,
seperti kurangnya SDM guru yang benar-benar “mumpuni”, perbedaan pola
pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang arti penting pendidikan,
kemudian ada lagi fasilitas, fasilitas yang masih minim akan sangat menghambat
kemajuan proses belajar mengajar, dan kendala-kendala lain.
3.
Peluang
Apabila
pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat pilar pendidikan ini, maka pada
gilirannya masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat yang bermartabat di
mata masyarakat dunia.
4.
Ancaman
Keempat pilar pendidikan UNESCO ini bisa menjadi bumerang
bagi peserta didik dan pengajar apabila tujuan atau keinginan yang hendak
dicapai tidak kunjung terwujud. Bisa jadi akan muncul sikap pesimis dan putus
asa kehilangan kepercayaan diri.
Keempat pilar pendidikan sebagaimana dipaparkan di atas, sekaligus merupakan
misi dan tanggung jawab yang harus diemban oleh pendidikan. Melalui kegiatan
belajar mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama dan belajar menjadi
seseorang atau belajar menjadi diri sendiri yang didasari keinginan secara
sungguh-sungguh maka akan semakin luas wawasan seseorang tentang pengetahuan,
tentang nilai-nilai posifit, tentang orang lain serta tentang berbagai dinamika
perubahan yang terjadi. Kesemuanya ini diharapkan menjadi modal fundamental
bagi seseorang untuk mampu mengarahkan dirinya dalam berprilaku positif
berpijak pada nilai-nilai yang dia yakini kebenarannya, dan pada gilirannya
akan semakin terbuka pikiran untuk melihat fakta-fakta yang benar dan yang
salah, suatu tindakan yang sesungguhnya merugikan ataupun membawa kemajuan bagi
diri dan orang lain. Kemampuan-kemampuan tersebut juga akan membekali individu
untuk mampu melihat secara nyata betapa konflik dan pertikaian-pertikaian telah
memberikan banyak kerugian di dalam tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa,
dan merugikan diri serta lingkungannya. Pada sisi lain seseorang juga akan
mampu melihat bagaimana suasana yang harmoni dapat memberikan kenyamanan dan
ketentraman dalam hidup, sehingga memberikan banyak kesempatan bagi suatu
masyarakat dan bangsa mencapai kemajuan-kemajuan yang lebih berarti bagi semua
orang.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pilar-pilar pendidikan tersebut dirancang dengan sangat bagus dan dengan tujuan
yang sangat bagus pula. Dengan mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan
pendidikan yang berlangsung di seluruh dunia termasuk Indonesia dapat menjadi
lebih baik. Namun masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan
tersebut, baik mengenai SDM nya, fasilitasnya, perbedaan
pola pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang arti penting
pendidikan, dan kendala-kendala lain.
Persoalan pendidikan
merupakan tanggung jawab kita bersama, karenanya tentu secara bersama-sama pula
kita mencari alternative pemecahannya. Mudah-mudahan ke empat pilar tersebut
dapat kita realisasikan dan akan nampak hasinya.
Mari melakukan
introspeksi diri sejauh mana kita sudah melakukan yang terbaik untuk
perubahan dan perbaikan terhadap persoalan pendidikan yang melilit negeri
ini.Satu harapan kita semua, agar dunia pendidikan di Indonesia bisa menjadi
lebih baikdan berkualitas.
Majulah pendidikan
indonesiaku……..
B.
SARAN
Mewujudkan kondisi ideal potret pembelajaran yang kreatif, bukanlah hal yang
mudah lantaran munculnya beragam fenomena aktual dalam dunia pendidikan sangat
dibutuhkan guru yang bersungguh-sungguh mengembangkan kompetensinya, baik
kompetensi personal, profesional, dan kemasyarakatan.
Oleh karena itu, guru diharapkan lebih kreatif di dalam mendesain proses
pembelajaran, sehingga ada perpaduan yang sinergis antara hasil pembelajaran
dengan kecakapan hidup (life skill).
Kerjasama dan koordinasi antara seluruh komponen sekolah dipandang perlu
agar masing-masing komponen sekolah dapat memberikan kontribusi secara
maksimal, dalam menumbuhkan tunas-tunas muda harapan bangsa.
- Warsita (2008:85) “Pembelajaran adalah suatu
usaha untuk membuat peserta didik belajar atau suatu kegiatan untuk
membelajarkan peserta didik”.
- UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1
Ayat 20 “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.
- Sudjana (2004:28) “Pembelajaran dapat diartikan
sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar
terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak,
yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik (sumber belajar)
yang melakukan kegiatan membelajarkan”.
- Corey (1986:195) “Pembelajaran adalah suatu
proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk
memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam
kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi
tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan”.
- Dimyati dan Mudjiono (1999:297) “Pembelajaran
adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk
membuat siswa belajar aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar”.
- Trianto (2010:17) “Pembelajaran merupakan aspek
kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan”.
Pembelajaran secara simpel dapat diartikan sebagai produk interaksi
berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Pembelajaran dalam
makna kompleks adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan
siswanya (mengarhkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam
rangkan mencapai tujuan yang diharapkan.