Kemendikbud
telah menyiapkan Kurikulum 2013 yang diklaim sebagai penyempurnaan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diluncurkan pada tahun 2006 lalu.
Benarkah demikian ? Hemat saya KTSP secara konsep jauh lebih baik, tapi
dibiarkan gagal oleh Kemendikbud sendiri dengan tidak menyiapkan guru yang
cakap dalam jumlah yang memadai.
Kurikulum
2013 dinyatakan sebagai respons terhadap perkembangan mutakhir sekaligus hasil
sigi internasional seperti PISA, TIMSS dan PIRLS yang menempatkan warga muda
Indonesia di papan bawah komunitas global di bidang matematika, sains, dan
ketrampilan membaca.Hemat saya, wacana Kurikulum 2013 berpotensi
menyembunyikan dua akar masalah pokok pendidikan Indonesia saat ini, yaitu tata
kelola pendidikan yang buruk (poor education governance) dan guru yang tidak
kompeten. Otak-atik kurikulum jauh lebih gampang dan enak daripada memperbaiki
tata kelola pendidikan dan menyiapkan guru yang kompeten.
Kurikulum
terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang tidak kompeten.
Sebaliknya, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang sederhana akan
menghasilkan proses belajar yang bermutu. Otak-atik kurikulum adalah cara
gampangan yang tidak mendasar dalam perbaikan pendidikan Indonesia, dan
sekaligus membiarkan ketidakcakapan dan ketidakberdayaan komunitas guru sebagai
pintu masuk bagi intervensi politik dan pragmatisme proyek hingga ketingkat
sekolah seperti pengadaan buku-buku wajib yang tidak bermutu tapi menghabiskan
ratusan Milyar atau bahkan Triliunan Rupiah.
Banyak
studi di dunia menunjukkan bahwa Tata Kelola Pendidikan yang buruk adalah
sumber korupsi. Saat ini pengelolaan pendidikan Indonesia sangatcentralised and executive-heavy sehingga
terlalu berorientasi pasokan. Akibatnya pendidikan semakin tidak relevan dan
kebutuhan murid yang beragam cenderung tidak diperhatikan. Amanat UU 20 tentang
Sisdiknas pasal 38 terlanggar oleh praksis pendidikan saat ini apalagi oleh
Kurikulum 2013.
Salah
satu agenda penting dalam perbaikan Tata Kelola Pendidikan adalah
desentralisasi dan diversifikasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan yang
penting tidak saja dengan penguatan prakarsa Kabupaten dan Kota dalam
pengelolaan pendidikan daerah, tapi juga penguatan organisasi profesi guru dan
penguatan Dewan Pendidikan Daerah serta asosiasi wali murid (ParentsAssociation) sebagai
wakil konsumen pendidikan. Sertifikasi guru seharusnya dilakukan secara
independen oleh organisasi profesi guru, bukan oleh Kemendikbud atau LPTK.
Agenda setting pengelolaan
pendidikan, termasuk evaluasi dan kurikulum baru, seharusnya dilakukan oleh
Dewan Pendidikan Daerah setelah berkonsultasi dengan Asosiasi Wali Murid di
daerah, bukan ditentukan oleh penerbit buku atau kontraktor proyek Kemendikbud
dan Dinas Pendidikan Daerah. Dalam era otonomi dan demokrasi ini, Kemendikbud
seharusnya tidak “segemuk” sekarang.
Di
dasar analisis saya, wacana kurikulum sebagai taruhan bonus atau tagihan
demografi dipijakkan pada paradigma sekolah : Memperbaiki
kurikulum adalah memperbaiki sekolah, dan memperbaiki sekolah adalah
memperbaiki pendidikan. Padahal belajar sebagai inti dari pendidikan sebenarnya
tidak membutuhkan sekolah. Artinya, pendidikan universal yang bermakna tidak
mungkin tercapai dengan mengandalkan sistem persekolahan, apalagi sekedar
otak-atik kurikulum belaka. Fakta empiris Indonesia maupun global tidak
membuktikan secara meyakinkan bahwa semakin banyak sekolah menjadikan
masyarakat semakin terdidik.
PENDIDIKAN DI ERA INTERNET
Di
era internet ini ternyata iman kebanyakan kita pada sekolah tidak tergoyahkan
sama sekali. Oleh Mendikbud otak-atik kurikulum sebagai bagian penting sebuah
sekolah seakan-akan menjadi taruhan besar bangsa ini. Padahal taruhan
besar itu tidak di persekolahan, apalagi di kurikulum, tapi di pendidikan. Inti
pendidikan adalah belajar. Tidak bersekolah tidak perlu membuat kita khawatir.
Yang merisaukan adalah jika anak-anak tidak belajar.
Dengan
internet belajar semakin tidak membutuhkan sekolah, apalagi kurikulum.
Membentuk karakter pun hanya bisa dilakukan secara efektif dengan praktek di
luar sekolah. Selama beberapa dekade terakhir ini terlihat bahwa semakin banyak
sekolah tidak menyebabkan masyarakat kita makin terdidik. Hasil sigi
internasional terbaru oleh PISA maupun TIMSS serta PIRLS juga menunjukkan murid
Indonesia tertinggal pada kemampuan berpikir tingkat tinggi, dan kemampuan
membacanya juga tertinggal dibanding teman-teman sebayanya. Artinya, sekolah
Indonesia tidak membekali murid dengan kompetensi yang penting untuk hidup di abad
21.
KURIKULUM
Kurikulum
adalah serangkaian hasil belajar yang diharapkan, dan seluruh proses yang
menghasilkan pengalaman belajar, serta mekanisme evaluasi hasil belajar murid
di bawah panduan guru di sekolah. Jadi kurikulum adalah atribut penting sistem
persekolahan. Segera perlu dicatat bahwa mekanisme evaluasi merupakan komponen
kurikulum yang penting. Salah satu penyebab kegagalan KTSP adalah Ujian
Nasional yang ikut menentukan kelulusan sehingga menggiring proses belajar yang
tidak pernah menghasilkan hasil belajar yang diharapkan. Kurikulum 2013 akan
digagalkan oleh UN yang sama, kecuali jika dilakukan reposisi UN.
Siapa
yang membutuhkan kurikulum ? Sekolah, Yayasan pengelola sekolah,
guru yang bekerja di sekolah, Dinas Pendidikan, Kemendikbud, para ahli
kurikulum, dan penerbit yang mau mencetak buku wajib yang akan dipakai di
sekolah. Asumsi dasar pada setiap penyusunan kurikulum adalah bahwa anak akan
mencapai prestasi belajar maksimal jika melalui serangkaian instruksi dan
lingkungan buatan, serta mekanisme evaluasi yang terstruktur dan
terencana. Saya berkeyakinan asumsi ini agak meremehkan kecanggihan
manusia beserta semua perangkat belajarnya yang telah diciptakan oleh Tuhan
sebagai ciptaan terbaik. Manusia bisa belajar dalam situasi apapun, bahkan
dalam situasi yang paling getir sekalipun. Bahkan manusia belajar jauh lebih
banyak dari pengalamannya di luar sekolah.
Murid
sekolah sebenarnya tidak membutuhkan kurikulum resmi yang kaku. Bahlan anak
yang cerdas sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. Kebanyakan anak-anak kita
sebenarnya cerdas. Di banyak sekolah kecerdasan mereka sering diremehkan oleh
proses belajar yang tidak menantang yang disajikan oleh guru yang tidak
kompeten. Kecerdasan merekapun sering diukur oleh instrumen yang tidak cocok,
seperti tes pilihan ganda. Puncak penghinaan atas kecerdasan ini adalah Ujian
Nasional yang dibantu oleh mesin pemindai ikut-ikutan menentukan kelulusan
mereka. Akibat proses yang salah ini, kecerdasan anak-anak ini justru menurun
dan mereka justru kehilangan jati diri dan percaya diri.
Di
Sulawesi Selatan, anak nelayan yang cerdas tidak pergi ke sekolah, tapi
membantu ayahnya melaut mencari ikan. Anak yang tidak terlalu cerdas justru
disuruh ke sekolah. Para nelayan Bugis itu secara intuitif tahu bahwa bagi anak
yang cerdas, tidak banyak yang bisa dipelajari di sekolah. Gejala seperti ini
terjadi juga di Madura. Statistik yang menyatakan bahwa lama bersekolah
menunjukkan tingkat keterdidikan seseorang atau suatu daerah tidak sepenuhnya
benar. Asumsi statistik itu adalah semakin lama bersekolah makin baik dan makin
terdidik. Asumsi ini harus dipertanyakan.
Sesungguhnya
hanya anak yang malas dan berkebutuhan khusus yang memerlukan kurikulum yang “well-designed” oleh
para teknokrat ahli. Anak-anak normal tidak membutuhkannya. Dengan bermain di
ruang terbuka dan di alam anak-anak belajar jauh lebih banyak daripada di kelas
yang sempit di sebuah tempat yang kita sebut sekolah. Neurosains menemukan
bahwa ruang kelas adalah tempat paling buruk bagi proses belajar. Bekal
terpenting bagi anak-anak normal ini adalah akhlaq yang baik, kegemaran
membaca, ketrampilan menulis, berhitung, berbicara dan kesempatan praktek yang
memadai bagi ketrampilan-ketrampilan untuk hidup secara produktif.
SCHOOLISM
Kita
sudah kecanduan sekolah sehingga tidak mampu membayangkan dunia tanpa sekolah.
Padahal masyarakat tanpa sekolah itu ada dan pernah ada dengan kualitas
kehidupan yang jauh lebih baik daripada sebuah schooledsociety yang
dengan congkak kita sebut modern ini. Masyarakat adat yang jauh dari sekolah
yang ada di daerah pedalaman lebih tahu caranya hidup bersahabat dengan alam
daripada masyarakat Jakarta yang tidak tahu caranya membuang sampah. Tapi
orang kota memandang remeh masyarakat adat sebagai kampungan dan terbelakang.
Dalam
perspektif sejarah, sekolah semula dibuat untuk menyiapkan buruh yang akan
mengisi pabrik-pabrik yang tumbuh akibat revolusi industri di Inggris sekitar
abad 17 setelah James Watt menemukan mesin uap. Sebelum itu masyarakat tidak
mengenal sekolah. Tradisi universitas muncul jauh mendahului tradisi sekolah.
Oxford, Cambridge umurnya sudah 700 tahun. Baitul Hikmah di Baghdad ada beberapa
ratus tahun sebelum Oxford. Sebelum pergi ke universitas masyarakat
pra-revolusi industri praktis belajar secara otodidak atau melalui proses
belajar non-formal atau bahkan informal. Yang dikenal hanya ijazah
sarjana, magister atau doktor. Itupun diberikan jika mahasiswanya meminta.
Jadi, sekolah adalah fenomena yang umurnya kurang dari 200 tahun. Dalam 200
tahun itulah proses perusakan ekosistem global terjadi secara masif yang belum
pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah evolusi manusia.
JEJARING BELAJAR
Untuk
memastikan pendidikan universal bagi kebanyakan anak-anak Indonesia, yang
diperlukan bukan pembesaran sistem persekolahan. Yang diperlukan adalah
pengembangan sebuah jejaring belajar (learning webs) yang
lentur, luwes, lebih non-formal, bahkan informal. Sekolah hanya salah satu
simpul dalam jejaring belajar tsb. Bengkel, toko, klinik, studio, lembaga
penyiaran, penerbit, perpustakaan kecamatan, restoran, koperasi, gereja, kuil,
dan masjid dapat menjadi simpul-simpul belajar. Simpul belajar yang pertama dan
utama adalah keluarga di rumah. Bukti kompetensi bisa ditunjukkan dengan
sertifikat kompetensi profesi yang diterbitkan oleh asosiasi profesi, bukan
dengan ijazah. Namun syarat-syarat formalistik inipun sebaiknya diberlakukan
secara sukarela. Sertifikat kompetensi bisa menjadi indikator kompetensi yang
lebih baik daripada ijazah.
Kegagalan
sistem persekolahan ditunjukkan secara gamblang di abad 21 di depan mata kita
oleh krisis hutang (pribadi, korporasi dan negara) di Amerika Serikat dan Eropa
yang dengan kekaguman kita sebut modern itu. AS adalah negara dengan hutang
terbesar di dunia. Keberlimpahan “negara kesatu” itu ternyata dicapai melalui
hutang untuk membiayai gaya hidup yang sangat konsumtif, boros energi dan
merusak lingkungan. Padahal baik AS maupun Eropa adalah masyarakat yang “paling
bersekolah” dengan “kurikulum yang paling canggih”.
Formalisme
kronis persekolahan harus dikurangi seminimal mungkin. Oleh Illich ini disebut
deschooling. Saat ini di Indonesia schoolism sudah pada tingkat yang
berbahaya. TK saja mengeluarkan ijazah. Ijazah seolah menjadi bukti kompetensi
seseorang. Kasus ijazah palsu yang marak terjadi adalah bukti bahwa memang
masyarakat lebih membutuhkan ijazah daripada kompetensi. Hanya yang butuh
ijazah yang butuh sekolah. Kita yang tidak butuh ijazah tidak butuh sekolah,
apalagi kurikulum. Tanpa kurikulum resmi sekolah akan baik-baik saja. Tanpa
sekolahpun kita sebenarnya baik-baik saja. Kita boleh mulai khawatir kalau kita
tidak belajar.
PENUTUP
Hiruk
pikuk Kurikulum 2013 berpotensi menyembunyikan masalah pokok pendidikan
Indonesia : tata kelola yang buruk dan guru yang tidak cakap. Jikapun kita
masih percaya dan membutuhkan sekolah, kita tidak membutuhkan kurikulum baru.
KTSP dan Standar Nasional Pendidikan secara konsep sudah memadai dan memberi
ruang bagi diversifikasi dan inovasi.
Yang
kita butuhkan adalah guru-guru yang cakap yang bersama Komite Sekolah
mengembangkan kurikulum yang cocok dengan potensi daerah yang unik, dan relevan
dengan kebutuhan murid sebagai subyek yang cerdas yang unik pula. Kita
membutuhkan guru yang cakap yang menghargai kecerdasan murid-muridnya, yang
dapat kita percayai untuk mengevaluasi penguasaan kompetensi murid-muridnya
secara multi-ranah multi-cerdas. Kita tidak membutuhkan guru pemalas dan tidak
bertanggungjawab yang mengevaluasi murid-muridnya dengan tes tulis
pilihan-ganda yang bisa diserahkan kepada mesin pemindai.
Jika
pendidikan hendak kita jadikan sebagai strategi kebudayaan, maka yang kita
harus kerjakan adalah membangun dan menghargai tradisi otodidak. Kita harus
mengurangi kecenderungan sekolah memonopoli pendidikan, merampasnya dari
tanggungjawab pribadi dan keluarga. Kesaktian kurikulum dan sekolah hanyalah
mitos belaka.
Catatan Penulis :
Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D adalah guru besar pada Jurusan Teknik
Kelautan ITS, mantan Ketua Dewan Pendidikan Jatim, Ketua Persatuan Insinyur
Indonesia Cab. Surabaya.
Sumber :
http://danielrosyid.com/kita-tidak-butuh-sekolah-apalagi-kurikulum.htm