Ketika
mutu pendidikan di negara ini ambruk dari tahun sebelumnya, maka guru
disalahkan, bahkan sebagian orang dan lembaga sosial mengatakan guru tiada
becus bekerja, namun ketika mutu pendidikan naik, malah Menteri Pendidikan yang
mendapat sanjungan dan penghargaan, saat itu seolah-olah guru tidak pernah ada
dan berjasa.
Di sisi lain guru senantiasa dituntut untuk mengajar semaksimal mungkin, sistem
24 jam per minggu juga diberlakukan, katanya demi memenuhi kewajiban guru
sebagai pengajar, bila tidak mencukupi 24 jam, maka guru yang memiliki
tunjangan, tunjangan tidak bisa diambil, padahal melihat kenyataannya seorang
guru itu bergelut dengan berbagai macam perilaku anak didik.
Belum
lagi guru yang mengajar di daerah konflik dan terpencil, saat darurat militer
di Aceh puluhan tahun yang lalu, guru harus menerjang desingan peluru demi
mengajar anak bangsa, diinterograsi oleh berbagai pihak, merayap dan tiarap di
lantai saat letusan senjata berkecambuk, belum lagi ada yang diculik dan
dipukul.
Jarak
tempuh yang jauh, medan yang berlumpur laksana kubangan, inilah realita guru di
daerah perbatasan, demi sang bintang masa depan mereka rela mengajar saat para
pejabat enggan ke sana, tapi sekarang hak mereka ingin direnggut dan diperkosa
oleh mereka yang hanya berada di kursi empuk.
Sebagian Guru di Anak Tirikan
Surat
Keputusan Bersama (SKB) 5 Menteri tentang Distribusi Guru dinilai merugikan
guru karena implementasinya akan memangkas persyaratan 24 jam mengajar dan
pemecatan ribuan guru honorer. Ketua Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI)
Retno Listyarti mengatakan, guru harus mengajar minimal 24 jam dan maksimal 40
jam untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi, (Neneng Zubaidah, Okezone, 2012).
Melihat
fenomena ini, sungguh sangat sulit guru mendapatkan 24 jam per minggu, apalagi
mereka yang mengajar di daerah pedalaman, yang serba kekurangan, saat siswanya
banyak, namun yang menjadi kendala ruang belajar yang tidak mencukupi dan
sarana pendidikan apa adanya, demikian juga sebaliknya, belum lagi mereka yang
honor, rela mengabdikan diri demi kemajuan pendidikan walau mereka tidak
digaji.
Pada
satu sisi Pemerintah ingin meningkatkan kualitas guru dengan memberikan
tunjangan sertifikasi, namun pada sisi lain seolah-olah program ini setengah
hati, sehingga memberikan kesulitan dan kepayahan kepada guru sehingga ada guru
yang sudah lulus sertifikasi namun tidak bisa mengambil tunjangan tersebut,
karena ditempatkan di sekolah yang hanya memiliki enam ruang belajar.
Belum
lagi dengan diberlakukan Kurikulum 2013 yang disahkan oleh M. Nuh selaku
Menteri Pendidikan, padahal kurikulum tersebut ada guru yang tertindas dengan
hilangnya mata pelajaran yang diempu, ditambah masalah kekurangan jam.
Seolah-olah jasa mereka yang berjuang di era konflik dan di daerah pedalaman
tidak dihargai, dan dilupakan begitu saja. Padahal mereka telah mengajar
sebelum M. Nuh menjadi Menteri Pendidikan.
Guru-guru yang mata pelajarannya dihilangkan dalam Kurikulum 2013, menjerit di
dalam hati, dengan seribu kebimbangan mereka menanti hari-hari saat mereka
dieksekusi, seolah seorang yang sedang nad’a menunggu Izrail mengambil nyawa
mereka, laksana sang teroris yang menunggu dipancung mati, mengajar tapi tiada
ketenangan.
Sebagai pengambil kebijakan, seharusnya mereka tidak bertepuk sebelah tangan,
melaksanakan program secara egois sebelah pihak tanpa melihat berapa orang yang
dikorbankan, bandingkan berapa gaji yang engkau ambil setiap bulan wahai
pengambil kebijakan dan berapa gaji mereka per bulan, ini pun ingin engkau
pangkas dengan menghilangkan mata pelajaran mereka, ketika program pendidikan
tidak melalui hati, maka akan begitu banyak yang terluka dan meronta.
Peradaban Pendidikan untuk
Meningkatkan Mutu
Meningkatkan
mutu pendidikan, tidak mesti dengan mewajibkan guru mengajar 24 jam per Minggu
atau menghapus sebagian mata pelajaran sehingga ada guru yang dikorbankan,
namun meningkatkan pendidikan yaitu dengan memberi pelatihan-pelatihan kepada
guru sesuai dengan jurusannya, mengawasi mereka dengan ketat, sehingga mereka
benar mengajar dengan sepenuh hati dan sesuai pengetahuannya, memberikan
fasilitas yang lengkap kepada setiap sekolah yang ada di seluruh Indonesia dan
memberikan kesejahteraan kepada meraka sesuai kebutuhan masa.
Peradaban
pendidikan dengan menjadikan wadah pendidikan itu benar-benar tempat menimba
ilmu, bukan sebagai bisnis sebagian orang, baik di tingkat pusat sampai kepada
guru dan siswa itu sendiri. Para pengambil kebijakan jangan mengubah-ubah
kurikulum ke kurikulum yang lain karena ingin menjadi dia sebagai konseptor dan
inspirator, guru yang mengajar jangan hanya bertumpu kepada gaji, namun mereka
lebih berperan dalam pendidikan, siswa yang belajarpun jangan cuma mengharap
beasiswa miskin tanpa memperhatikan kualitas dan kemampuan mereka dalam
menyerap isi pembelajaran.
Adab dan moral segala elemen sangat berpengaruh dalam meningkatkan mutu
pendidikan, pengambil kebijakan, guru dan siswa harus memiliki adab dan moral,
sehingga dalam menjalankan amanah bangsa, mereka sama-sama bertanggung jawab
demi kemajuan negeri ini. Mustahil akan lahir generasi yang baik bila di dalam
sistem itu dihuni oleh orang-orang yang tidak baik.
Pada
tanggal 22 Oktober 2002, Pemerintah Republik Indonesia, mengundangkan UU
Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Sejak
pemberlakuan UU tersebut, guru sudah mulai enggan menghukum siswa, walau siswa
tersebut berulah sebagaimana kemauannya, padahal setiap hukuman yang mereka
berikan bukan membabi buta atau untuk membunuh, namun agar memotivasi siswa
yang nakal agar serius.
UU Perlindungan anak, khususnya pasal 13 ayat (1), menyatakan bahwa setiap anak
selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a.
diskriminasi;
b.
eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c.
penelantaran;
d.
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e.
ketidakadilan; dan
f.
perlakuan salah lainnya.Apa yang diungkapkan dalam pasal 13 ayat (1) di atas
kembali ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
1.
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
2.
Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
Dengan adanya UU tersebut, seolah anak dibiarkan dan dimanjakan, ini
menyebabkan rendahnya mutu pendidikan didaerah-daerah pedalaman dan daerah yang
pernah didera konflik, karena sikap dan mental anak didaerah itu keras dan suka
melawan, bahkan kalau ibu-ibu merasa kurang berharga bagi mereka.
Pribadi
saya bukan melegalkan kekerasan guru kepada anak didiknya, namun ada daerah
yang memang kita harus memberi efek jera kepada meraka agar mereka mau belajar,
kalau kita mengajar anak-anak pilihan, mungkin denda yang demikian tidak perlu
kita terapkan, tapi setiap daerah berbeda intelegensi dan kemauan anak dalam
belajar, dan ini menjadi PR kita semua, apakah kita membutuhkan generasi yang
handal dan berkualitas, atau generasi yang selalu dibantu saat UN.
Zulkifli
; Alumnus STAIN Malikussaleh Lhokseumawe,
Siswa
Sekolah Demokrasi Aceh Utara
Sumber : OKEZONENEWS 29 Mei 2014